Pada tulisan kali ini, ada sebuah ungkapan tentang kesempatan yang ingin saya bahas. Kali ini dari sudut pandang kata kesempatan itu sendiri. Di dalam kata “kesempatan” ada kata “sempat”. Dalam salah satu pengertian bahasa Indonesia, sempat diartikan “ada waktu”.

Jika ditelaah lebih jauh, waktu sebenarnya sesuatu yang sifatnya mutlak. Artinya, tiap orang memiliki waktu yang sama tak lebih dan tak kurang, sama-sama 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Yang membedakan adalah bagaimana tiap orang memanfaatkan waktunya. Ada yang 24 jam penuh kesibukan sehingga seolah waktu selalu kurang, ada yang hanya menggunakan waktunya untuk hal yang kurang berguna, tapi ada pula yang dengan manajemen waktu yang lebih tertata, bisa memanfaatkan waktu 24 jam agar benar-benar maksimal hasilnya.

Kembali ke soal kesempatan, ada sebuah ungkapan bijak: orang cerdik memanfaatkan kesempatan. Artinya, mereka yang sukses, bukan sekadar menciptakan kesempatan agar selalu datang, tapi lebih dari itu.

Pernahkah Anda memperhatikan seekor harimau yang sedang membidik mangsanya? Ia akan meringkuk perlahan-lahan, mengamati calon mangsanya. Saat itu, dengan kewaspadaan penuh, harimau mengintai, mana buruan yang paling memungkinkan untuk dijadikan mangsa. Setelah sekian lama menatap dan perlahan-lahan mendekati buruannya, ia akan dengan segera meloncat, mengerahkan segenap kekuatan, serta dengan sigap menangkap incarannya. Semua proses itu tampaknya sangat cepat. Saat buruannya berlari, ia dengan sigap bisa mencari titik lemahnya, sehingga sang buruan akhirnya menyerah dan jadi santapan harimau.

Jika dicermati, tingkah harimau tersebut tak lepas dari kesungguhannya menyiapkan diri untuk menetapkan buruan mana yang akan dikejarnya. Tak heran, jika sudah menyerang, buruannya pun tak berkutik, meski bahkan, secara teori sang buruan kadang mampu berlari lebih cepat dari harimau. Inilah salah satu naluri alamiah seekor harimau untuk mencapai “tujuan”. Dengan kesungguhannya—untuk memenuhi kebutuhan hidup—harimau mampu “menang” di hampir semua “arena” perburuannya.

Pada suatu masa, hiduplah dua pedagang keliling yang menjual perkakas yang terbuat dari kuningan. Kedua pedagang itu memiliki watak yang berbeda.

Pedagang pertama merupakan orang yang tamak dan rela melakukan hal-hal yang tidak balk demi mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.

Pedagang kedua merupakan orang yang sabar, rajin, tekun, jujur, dan baik hati.

Suatu hari, pedagang tamak melewati seorang nenek dan cucunya. Sang nenek memanggil dan menghampiri pedagang itu, lalu berkata, “Cucuku ingin perkakas makan baru. Maukah kau menukar perkakas itu dengan mangkuk tuaku ini?”

Si pedagang mengamati mangkuk tua si nenek dengan saksama. Ia membatin, “Hmmm… mangkuk ini terbuat dari emas. Harganya pasti mahal sekali. Tapi, sepertinya nenek ini tidak mengetahuinya.”

Alkisah, ada seorang raja yang ingin mencari kebahagiaan. Maka, dipanggillah orang pintar di kerajaannya untuk mencarikan rasa bahagia untuk raja. Setelah berpikir, beberapa hari kemudian, orang tersebut mendatangi raja sembari membawakan sebuah berlian sangat elok yang keindahannya mengundang decak kagum banyak orang.

Baginda menerima berlian itu dengan senang hati. Beberapa hari, berlian itu dipakainya sebagai penghias mahkota. Sangat elok. Namun, suatu ketika, saat raja mengaguminya, ia melihat sedikit cacat di berlian tersebut. Hatinya kecewa. Bahagia yang dirasakan, tiba-tiba lenyap begitu saja.

Maka, segeralah dipanggil orang pintar lain untuk mencarikan bahagia. Orang pintar tersebut segera menunaikan perintah raja. Beberapa saat berlalu, hingga orang itu datang meminta sang raja untuk membuat pesta. Dalam pesta itu, banyak relasi dari berbagai penjuru negeri datang. Gelak tawa dan rasa suka karena banyak teman baru membuat sang raja bahagia. Ia senang, punya banyak keluarga baru yang membuatnya terus tertawa dan senang. Karena itu, raja meminta agar pesta bukan hanya sesaat, melainkan hingga beberapa waktu lamanya.

Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk menjadikan hidup lebih baik dan memaksimalkan hasil seperti yang diinginkan. Apa saja?

Berikut enam hal yang menurut Stephen Covey, penulis buku megabestseller 7 Habits of Highly Effective People, yang akan membuat hidup kita lebih baik dan lebih terarah.

(1) Jadilah lebih proaktif. Yang dimaksud di sini bukan sekadar mengambil inisiatif untuk hal yang menjadi tanggung jawab kita. Namun, kita benar-benar harus bisa memberdayakan diri sendiri dan sekitar kita. Sehingga, apapun yang kita lakukan untu pekerjaan/profesi kita, akan jauh lebih bermanfaat bagi diri sendiri dan lingkungan sekitar. Kadang, kita meremehkan profesi kita. Padahal, setiap profesi sebenarnya pasti punya manfaatnya tersendiri. Pekerjaan/peran kita adalah satu bagian, yang menjadi “pelengkap” satu sama lain. Misalnya, seorang sopir akan jadi “kekuatan” bagi “bos” yang disopirinya, saat ia mampu mengemudi dengan profesional dan selalu mengantarkan sang bos ke tempat yang dituju dengan selamat dan tepat waktu. Tanpa disadari, perannya ini akan menjadikan banyak deal-deal besar bisa termaksimalkan.

1 hari tidak belajar, itu salah.
3 hari tidak belajar, itu kemunduran!
Biasakan setiap hari belajar sesuatu yang baru demi kesuksesan hidup yang lebih bernilai!

Pemikir dan negarawan besar asal Tiongkok, Konfusius yang hidup lebih dari 2500 tahun yang lalu, pada masa hidupnya selalu menekankan akan pentingnya sikap belajar bagi setiap manusia. Ia menganalogikan pentingnya belajar melalui kata mutiaranya yang populer dan masih relevan sampai hari ini. Bunyinya seperti ini:

Belajar adalah seperti sebuah perahu kecil yang melawan arus, kalau tidak maju, berarti mundur.

Memang benar. Kalau kita mendayung sebuah perahu kecil yang sedang melawan arus, berarti kita harus dengan sekuat tenaga untuk mengayuh dan mengayuh dayung agar perahu kita bergerak maju. Kalau tidak, tentu perahu kecil kita akan mundur terseret oleh arus air.