Ada sebuah anggapan, jika ingin melihat sukses tidaknya perusahaan, lihatlah pemimpinnya. Sebab, sang pemimpinlah yang akan jadi panutan, pegangan, sekaligus teladan yang mampu mengarahkan jalannya perusahaan. Lihatlah berbagai perusahaan sukses di dunia. Hampir bisa dipastikan, ada sosok yang identik dengan nama perusahaan tersebut. Berkat tangan dingin mereka, juga moralitas dan teladan yang dibawa, perusahaannya bisa maju dan mendunia. Minimal, dikenal, atau bahkan dikenang sebagai perusahaan sukses dunia.

Faktor kepemimpinan memang sangat krusial. Karena itu, sebagai seorang pemimpin, harus mampu dan berani mengambil risiko—namun selalu dengan perhitungan matang—dan bisa menjadi teladan yang baik bagi orang yang dipimpinnya. Pemimpin harus mampu “memimpin diri sendiri” dulu, sehingga memunculkan teladan bagi orang lain. Apa yang dimulai, apa yang dilakukan, apa yang diputuskan, semua menjadi hal yang penting untuk meraih sukses bagi usaha yang dijalankan.

Ada beberapa hal tentang kepemimpinan yang harus dapat dilakukan oleh seorang pemimpin.

Manusia besar adalah manusia yang mampu mengolah sakit hati menjadi prestasi.

Salah satu rangkaian dalam hidup yang harus kita hadapi adalah sakit hati. Sakit hati entah karena perilaku orang lain; atau entah karena perilaku kita sendiri tapi kita tidak tanggap sehingga setiap orang yang dekat dengan kita dan melakukan suatu hal kecil membuat kita menjadi sakit hati. Terbakar, terluka dan akhirnya kita berpikir bahwa mereka tidak mengerti kita.

Contoh yang paling jelas tentang sakit hati bisa dilihat di televisi. Berita suami istri saling sakit hati, lalu mengakhiri rasa sakit itu dengan tindakan kriminal. Seorang murid yang sakit hati dan melukai gurunya. Anak kecil yang sakit hati dengan temannya lalu melukainya.

Sakit hati ada di mana-mana. Sakit hati bukan lagi dikenal sebagai penyakit yang tertera di buku resep dokter. Sakit hati lebih dikenal dengan sakit perasaan. Jiwa yang sakit. Bila sakit hati itu dipendam menjadi sebuah dendam. Pandawa disakiti oleh Kurawa. Dikucilkan di hutan. Para Nabi dikucilkan pengikutnya sendiri. Para pemimpin sering ditikam dari belakang justru oleh orang yang ada di sampingnya.

Alkisah, ada seorang pengrajin emas yang sudah berumur dan terkenal di sebuah kerajaan. Selain keterampilan dan kehalusannya dalam membuat perhiasan, dia pun terkenal dengan kebijaksanaannya.

Dengan kemasyhurannya itu, banyak orang ternama datang kepadanya untuk dibuatkan perhiasan. Mendengar kabar tersebut, Sang Raja pun menginginkan sebuah cincin yang akan memperindah dan memperkuat karismanya sebagai raja.

“Paman pengrajin. Aku mendengar kehebatanmu dalam membuat perhiasan indah yang penuh makna dan pesan moral. Karena itu, aku ingin engkau buatkan sebuah cincin untuk rajamu ini. Selain indah bentuknya, engkau harus menuliskan pesan moral di dalam cincin untuk meningkatkan karisma cincin itu,” sabda baginda. “Tuliskan di cincin itu, sesuatu yang bisa disimpulkan dari seluruh pengalaman dan perjalanan hidupmu agar rajamu ini bisa menjadikannya sebagai pelajaran penting dalam kehidupan mendatang. Jelas ‘kan? Pulang dan kerjakan sebaik-baiknya! Aku akan memberikan hadiah yang bernilai bila engkau berhasil memenuhi pesanan.

Di sebuah padang rumput nan luas, seusai makan dengan lahapnya, seekor rusa merasa kehausan. Ia pun lantas mencari sumber air di sekitar sana. Tak lama, ia menjumpai sebuah danau kecil yang airnya sangat bening. Tak tahan haus, ia pun langsung meminum air di sana sepuasnya. Setelah puas meminum air tersebut, sang rusa kemudian hendak melangkah pergi.

Namun, sesuatu menarik perhatiannya. Di air yang sangat bening itu, ia melihat pantulan dirinya. Tanduknya yang kokoh dan indah membuat sang rusa melihat betapa gagah dirinya. Tanduknya lantas digerak-gerakkan untuk memastikan bahwa bayangan di air itu adalah dirinya. Ia lantas bergumam, “Betapa indah tandukku ini. Aku baru menyadari, selain kuat dan bisa aku gunakan untuk mempertahankan diri, tanduk ini sangat elok menawan.”

Ia pun terus mengagumi tanduk di atas kepalanya. Dari kepala, ia memperhatikan bagian tubuh yang lain. Hingga, saat ia melihat kakinya, sang rusa tampak kecewa. “Kakiku ternyata panjang, namun kecil dan kurus. Sungguh tidak sebanding dengan keindahan tandukku. Mengapa kakiku jelek seperti ini?” keluhnya.

Kadang bila kita merenung….

Dulu saya lahir dari keluarga miskin. Ketika melihat orang kaya, saya bertanya-tanya mengapa mereka egois, tidak mau menolong orang miskin memperbaiki masa depan, bahkan tidak jarang malah memandang rendah?

Namun, ketika kemudian saya menjadi kaya karena bekerja keras, saya merasa orang miskin itu malas, tidak mau berinisiatif, maunya ditolong, iri, dan tak pernah berterima kasih.

Mengapa bisa begini?

Tak jarang dalam hidup ini, kita punya standar ganda dalam ‘Menakar dan mengukur’.

Kita kerap menilai orang lain dari ‘takaran’ atau pandangan subjektif kita dan tidak mampu memahami orang lain dari sudut pandang orang itu.

Ada seorang petani jagung yang sukses sekali dalam mengelola perkebunannya. Si petani bukan hanya mampu menghasilkan butir-butir jagung dengan kualitas yang prima tetapi juga dari hasil panennya yang sangat berlimpah.

Si petani telah beberapa kali memenangkan penghargaan, baik dari segi kualitas produk maupun kuantitasnya. Dari pemerintah pun, penghargaan tertinggi diraihnya karena dinilai sebagai pelopor kemajuan perekonomian masyarakat petani setempat.

Keberhasilan si petani bukan hanya untuk dirinya dan keluarganya saja, tetapi juga untuk petani-petani tetangganya. Dia seringkali membagi-bagikan bibit jagung berkualitasnya kepada mereka, mengajarinya cara bercocok tanam yang baik, sehingga hampir seluruh petani di daerah itu hidup sejahtera dan perekonomian pemerintah daerah pun juga meningkat tajam dan berlimpah.

Suatu hari, datang wartawan menanyakan, “Apa rahasia kesuksesan Bapak?”