Dalam berbagai kesempatan, saya selalu mengatakan, bahwa sukses adalah hak kita semua, hak Anda, dan hak siapa saja yang menyadari, menginginkan, dan memperjuangkan dengan sepenuh hati. Banyak yang kemudian bertanya, bagaimana bisa sukses adalah hak setiap orang, tapi yang terjadi banyak orang yang tidak sukses dalam hidupnya?

Pertanyaan semacam itu sebenarnya adalah sebuah pertanyaan dan sekaligus pernyataan, sebab jika dikaji lebih jauh, orang yang—dianggap—tidak sukses pun sebenarnya memiliki “derajat” kesuksesannya sendiri-sendiri. Hanya saja, tergantung dari sudut pandang mana seseorang membandingkan tingkat kesuksesan tersebut.

Ada kalanya, yang jadi pembanding adalah ukuran yang salah. Artinya, sampai kapan pun, ukuran itu tak akan pernah dicapai karena yang dibandingkan tidak sekelas. Misalnya, bercita-cita menjadi seperti Bill Gates sebagai ukuran suksesnya. Tentu akan sangat jauh untuk dicapai. Bukan tidak mungkin tercapai. Tapi, skala ukuran sukses inilah yang seharusnya sedari awal kita mulai dari hal yang sebanding terlebih dahulu.

Pada tepian sebuah sungai, tampak seorang anak kecil sedang bersenang-senang.

Ia bermain air yang bening di sana.

Sesekali tangannya dicelupkan ke dalam sungai yang sejuk. Si anak terlihat sangat menikmati permainannya.

Selain asyik bermain, si anak juga sering memerhatikan seorang paman tua yang hampir setiap hari datang ke sungai untuk memancing.

Setiap kali bermain di sungai, setiap kali pula ia selalu melihat sang paman asyik mengulurkan pancingnya.

Kadang, tangkapannya hanya sedikit. Tetapi, tidak jarang juga ikan yang didapat banyak jumlahnya.

Suatu sore, saat sang paman bersiap-siap hendak pulang dengan ikan hasil tangkapan yang hampir memenuhi keranjangnya, si anak mencoba mendekat.

Di tepi sebuah hutan, tampak dua lelaki muda sedang berlari pontang-panting sambil berteriak-teriak minta tolong. Rupanya mereka sedang dikejar-kejar oleh seekor serigala besar yang liar dan kelaparan.

Kebetulan, teriakan mereka didengar oleh seorang pemburu yang berada tidak jauh dari tempat itu. Si pemburu bergegas datang dengan senapan berburu siap di tangan.

Setelah mendapatkan posisi yang tepat, si pemburu langsung menembakkan senapannya.

Dor… dor…! Dua tembakan beruntun tepat mengenai sasaran dan langsung merobohkan serigala itu.

Kedua laki-laki muda pun bersyukur sekali setelah selamat dari maut. Masih dengan tubuh gemetaran dan berlinang air mata, keduanya mendekati si pemburu dan memperkenalkan diri.

Dalam masyarakat Jepang, salah satu jenis ikan yang sering diolah menjadi makanan adalah ikan salmon.

Ikan salmon akan terasa jauh lebih segar dan lezat apabila saat hendak diolah menjadi masakan, ikan ini masih dalam kondisi hidup.

Itulah sebabnya para nelayan selalu memasukkan ikan salmon hasil tangkapannya ke dalam kolam buatan agar di dalam perjalanan menuju daratan, ikan salmon tersebut dapat tetap bertahan hidup.

Meski demikian, banyak ikan salmon yang mati di dalam kolam buatan itu. Lalu, para nelayan mencari cara untuk menyiasati agar ikan salmon di dalam kolam buatan tersebut bisa bertahan hidup.

Mereka mencoba memasukkan seekor ikan hiu kecil ke dalam kolam buatan itu. Ajaibnya, hiu kecil itu berhasil membuat ikan-ikan salmon di dalam kolam yang sama terus bergerak. Karena risikonya jika tidak bergerak, ikan salmon itu akan dimangsa oleh hiu kecil.

Kehidupan pasti tak lepas dari aneka permasalahan. Ada yang berat, banyak pula yang ringan. Ada yang bisa diselesaikan dalam satu dua hari. Tapi sering pula baru terselesaikan berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun lamanya. Dari semua masalah yang berhasil terselesaikan, ada satu kesamaan. Yakni, adanya solusi.

Solusi memang adalah jawaban dari persoalan. Namun sayangnya, ada banyak orang yang bukannya mencari solusi, tetapi menambah masalah. Padahal, semangat mencari solusi inilah yang seharusnya wajib kita kedepankan.

Lantas, bagaimana agar kita cepat mendapatkan solusi atas sebuah masalah? Kuncinya sederhana. Pahami masalah, cari inti persoalan, dan segera konsentrasikan diri untuk menyelesaikannya.

Ini sejalan dengan sebuah kisah Tiongkok kuno yang dituturkan oleh penasihat raja Xiang dari Kerajaan Chu, Zhuang Xin. Ia menceritakan kisah ada seorang peternak yang memiliki domba dan dikandangkan di ladang terbuka. Suatu ketika, salah satu dombanya hilang.

Dahulu kala di kastel nan jauh di tengah hutan, ada tiga remaja yang hidup bersama karena jati diri mereka dirampas oleh Penyihir Bayangan.

Anak lelaki yang terjebak di dalam kotak berkata, “Kita harus menemukan kembali jati diri kita agar tak bertengkar dan hidup bahagia.”

Mereka menaiki mobil kemah untuk mencari jati diri mereka.

Di perjalanan mereka bertemu Ibu Rubah yang sedang menangis di ladang yang dipenuhi salju.

Anak lelaki yang selau memakai topeng menanyakan Ibu Rubah, “Kenapa kau terus menangis?”

Ibu Rubah menjawab, “Aku kehilangan anak di ladang salju ini. Saat menggendongnya di punggungku, aku terlalu sibuk mencari makan.”