Pada tahun 1867, hiduplah seorang ahli teknik kelahiran Jerman bernama John Augustus Roebling. Ia bermimpi membangun sebuah jembatan yang menghubungkan Kota New York dan Long Island.

Impian John tidak mendapat dukungan bahkan ditertawakan oleh banyak temannya. Mereka mengganggap proyek itu adalah ide yang paling gila dan impossible di zaman itu.

Maka, John pun hanya bisa berbagi impian dengan anaknya, Washington Roebling. Washington juga seorang ahli teknik. Ayah dan anak itu berjuang bersama untuk mewujudkan impian itu.

Ketika proyek itu baru berjalan beberapa bulan, terjadi kecelakaan yang fatal. Sayangnya, karena pertolongan yang terlambat, John Roebling tidak bisa diselamatkan.

Sedangkan Washington, walaupun nyawanya selamat, tetapi mengalami cedera parah pada kepalanya yang mempengaruhi motoriknya. Washington menjadi lumpuh dan tidak mampu berbicara. Namun demikian, impian ayahnya tentang jembatan tidak pernah padam dalam pikirannya.

Alkisah, suatu hari seorang profesor diundang untuk berbicara di sebuah basis militer. Setiba di bandara, sang profesor dijemput oleh seorang prajurit muda yang ditugaskan untuk mendampingi selama kunjungannya di sana.

Setelah berjumpa dan saling memperkenalkan diri, mereka pun menuju ke tempat pengambilan kopor. Namun sepanjang perjalanan, si prajurit muda sering “menghilang”. Banyak hal yang dilakukannya secara spontan. Ia membantu seorang wanita tua yang kopornya jatuh dan terbuka. Kemudian, ia menolong orang yang tersesat dengan menunjukkan arah yang benar. Banyak lagi yang dilakukannya.

“Anak muda, bapak sungguh terkesan dengan kebaikan hatimu. Begitu sibuk memperhatikan dan menolong orang lain. Darimana kamu belajar melakukan hal-hal seperti itu?” Tanya sang profesor kepada si prajurit.

“Oohh, selama masa perang saya kira,” jawab si prajurit sambil tiba-tiba mengerutkan kening, seakan mengingat banyak kejadian buruk di masa perang.

Suatu hari di sebuah negeri. Seorang raja yang terkenal dengan kesombongan dan keserakahannya, beserta para pengiringnya, berpapasan dengan seorang paman berpakaian lusuh layaknya seorang pengemis.

Paman itu bergegas membungkuk hormat dan sang raja yang pagi itu sedang berbaik hati menyapanya, “Paman, apa yang hendak Paman minta?”

Si paman menjawab, “Yang Mulia bertanya kepada saya? Yang saya minta belum tentu Yang Mulia mampu mengabulkan.”

Dengan suara lantang sang raja berseru, “Sebutkan saja permintaanmu, tentu saja rajamu ini mampu memberi!”

Si paman menjawab tenang dan senyum, “Yang Mulia. Mohon maaf, jangan sembarang mengumbar janji dan perkataan.”

Pepatah bijak mengatakan, “Hidup manusia ada waktunya malapetaka, ada waktunya anugerah“. Semua itu harus mampu kita dalami dengan perbuatan nyata. Salah satunya, dengan kemampuan dan kemauan untuk beradaptasi dalam menghadapi semua tantangan perubahan.

Kemampuan beradaptasi harus dilandasi dengan sikap yang sering saya ungkapkan dalam pernyataan: Cerdas, Cermat, dan Cekatan. (3C)

Kita dituntut untuk cerdas dalam menghadapi berbagai ujian dan cobaan yang mengiringi perubahan di sekitar kita. Cerdas di sini bisa berarti mampu menciptakan inovasi baru untuk mengatasi berbagai masalah, hingga cerdas dalam bersikap saat mengalami keterpurukan. Kecerdasan yang berasal dari pola pikir positif dan otak yang diasah terus-menerus, akan menghasilkan tindakan terukur yang mampu jadi solusi bagi semua persoalan.
Tips konkret untuk menjadi orang yang cerdas: manfaatkan waktu semaksimalnya untuk belajar dan bekerja dengan baik.

Alkisah, ada seorang murid baru yang diperintah oleh gurunya untuk mengambil air di dekat sebuah sumur, yang terletak di belakang perguruan.

Si murid pun bergegas menuju ke belakang untuk melaksanakan tugas yang diperintahkan. Tanpa berpikir panjang atau mempelajari situasi di sekitar sana, pikiran dan langkah kakinya langsung tertuju pada sumur dan ember untuk menimba air.

“Ahaa…itu dia ember kosong dan talinya,” serunya. Dengan gembira ,dia pun mulai memegang tali dan mengayunkan ember ke dalam sumur. Tetapi sampai tali yang dipegang di tangan hampir tiba diujung, dirasakan ember nya tetap kosong, tidak juga menyentuh air di dalam sumur. Maka dia melakukan usaha lebih keras. Tubuhnya ikut dilengkungkan ke bawah seraya matanya menatap nanar berusaha menembus kegelapan sumur, sambil tangannya sibuk mengayun-ayunkan ember. Tetapi tetap saja tidak ada apa pun yang tersentuh ember di bawah sana. Panas yang terik dan usaha sepenuh hati yang dilakukan berkali-kali membuat keringat mengucur deras membasahi bajunya.

Ada sebuah pepatah bijak dalam bahasa Jawa, “Gelem nangkane, ora gelem pulute” yang berarti “Mau nangkanya, tapi tak mau terkena getahnya”. Pepatah ini mengandung makna bahwa orang cenderung menginginkan hal yang baik-baik saja, tapi kurang mau atau suka menghindar untuk menghadapi konsekuensinya. Ingin sukses, tapi tidak mau gagal. Mau kaya, tapi kurang mau berjuang dengan sungguh-sungguh. Bercita-cita terkenal, tapi berusaha dengan cara instan. Ingin ini dan itu, tapi tidak mau menjalani proses dan jalan berliku untuk memperolehnya. Akhirnya, banyak orang yang ujungnya menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya.

Padahal sejatinya, justru pada saat sulit, gagal, susah, berliku, turun, bahkan terantuk dan terluka, itulah saat kita sedang “digodok di kawah candradimuka”. Di mana, saat “panas” itulah, kita sedang ditempa menjadi berlian dan permata yang tak ternilai harganya. Hanya mereka yang tahan dalam menghadapi berbagai hadangan ujian dan cobaanlah yang akan mampu mewujudkan impian.