Pada suatu masa, hiduplah dua pedagang keliling yang menjual perkakas yang terbuat dari kuningan. Kedua pedagang itu memiliki watak yang berbeda.

Pedagang pertama merupakan orang yang tamak dan rela melakukan hal-hal yang tidak balk demi mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.

Pedagang kedua merupakan orang yang sabar, rajin, tekun, jujur, dan baik hati.

Suatu hari, pedagang tamak melewati seorang nenek dan cucunya. Sang nenek memanggil dan menghampiri pedagang itu, lalu berkata, “Cucuku ingin perkakas makan baru. Maukah kau menukar perkakas itu dengan mangkuk tuaku ini?”

Si pedagang mengamati mangkuk tua si nenek dengan saksama. Ia membatin, “Hmmm… mangkuk ini terbuat dari emas. Harganya pasti mahal sekali. Tapi, sepertinya nenek ini tidak mengetahuinya.”

Muncul niat jelek di hati si pedagang tamak. Ia ingin mendapatkan mangkuk itu dengan harga yang murah dengan memanfaatkan ketidaktahuan si nenek.

Ia berkata kepada si nenek, “Mangkuk ini tidak ada harganya karena terlalu tua. Tapi kalau kau mau, aku akan menukarnya dengan sendok.”

Si nenek mendesah kecewa. “Apakah tidak terlalu murah? Mangkuk ini merupakan warisan dari suamiku,” katanya.

“Kalau tidak mau yaudah,” sahut si pedagang tamak, pura-pura cuek. Ia berjalan pergi meninggalkan si nenek. Tapi, dalam hati ia berencana untuk kembali menemui nenek keesokan harinya.

Tidak lama kemudian, pedagang kedua (pedagang yang jujur) juga melewati tempat si nenek dan cucunya.

“Hai, maukah kau menukar mangkuk tua ini dengan peralatan makan yang kau jual?” tanya nenek kepada si pedagang jujur.

Pedagang tersebut mengambil mangkuk antik dari tangan nenek, lalu mengamatinya dengan teliti. Keningnya tampak berkerut-kerut.

Setelah selesai, ia berkata kepada si nenek, “Mangkuk ini terbuat dari emas. Harganya sangat mahal. Semua barang yang aku bawa ini tidak akan cukup untuk membayarnya.”

“Tidak apa-apa,” jawab si nenek sambil tersenyum, senang dengan kejujuran pedagang itu. “Ambillah mangkuk itu, dan berikan aku perkakas makan dengan jumlah yang pantas.”

“Baiklah. Aku berikan semua barangku dan uangku,” jawab si pedagang. Setelah berterima kasih, ia pun berpamitan kepada si nenek.

Keesokan harinya, si pedagang tamak kembali mendatangi si nenek. la hendak menawar mangkuk yang kemarin hendak dijual oleh si nenek. Namun, betapa kecewanya ia saat mengetahui bahwa mangkuk berharga itu sudah di jual kepada pedagang lain.

Ia menyesal karena bersikap tamak sehingga akhirnya malah gagal mendapatkan mangkuk emas yang di jual oleh si nenek. Ia pun pulang dengan langkah gontai. Dalam hati, ia berjanji untuk tidak bersikap tamak lagi.

Sementara itu, si pedagang jujur hidup berkelimpahan setelah menjual mangkuk emas yang diterima dari si nenek. Meskipun sudah kaya raya, namun si pedagang jujur tetap bekerja dengan tekun setiap hari, menjajakan dagangannya dengan penuh kejujuran.

    Sikap tamak dan tidak jujur hanya akan merugikan diri kita sendiri. Sebaliknya, orang-orang yang jujur selalu memiliki keberuntungannya sendiri.

    Mari kita jauhi sikap tamak dan selalu berusaha untuk bersikap jujur dalam kehidupan sehari-hari

Sumber: https://iphincow.com