Seberapa sering Anda berupaya tapi gagal? Bagaimana Anda menyikapinya? Mari kita merenung sejenak, untuk menjawab pertanyaan ini. Sebab, dari pertanyaan ini, sebenarnya kita bisa mulai mengukur kapasitas dan mentalitas diri, terutama dalam menghadapi dinamika kehidupan yang serba tak pasti.

Sebab, ini adalah pertanyaan paling mendasar yang menentukan kita gagal atau sukses. Mengapa? Karena pada dasarnya tak ada orang sukses yang tak pernah gagal. Malah, banyak orang yang sangat sukses setelah berkali-kali gagal. Bahkan, jika dikorek lebih jauh lagi, hampir bisa dipastikan, tingkat kegagalan yang sudah pernah dialami mungkin banyak sekali. Lantas, bagaimana ia bisa bangkit dan sukses luar biasa? Di sinilah rahasianya: konsistensi.

Berkali-kali saya bertemu dengan pengusaha sangat sukses. Berkali-kali pula jika ditelusuri lebih jauh, mereka punya sikap dan kebiasaan yang—analogi sederhananya—“mirip” mesin. Ini sama sekali bukan sikap yang kaku atau cenderung monoton. Tapi, mesin yang saya ungkapkan adalah mesin yang bekerja rutin, konsisten, dan sesuai target. Dalam pengertian bahasa Jawa, ada sebuah ungkapan, yakni ajeg. Secara harfiah, kata ini mewakili konsistensi seseorang dalam melakukan suatu hal.

Dikisahkan, pada tahun 1867, hiduplah seorang ahli teknik kelahiran Jerman bernama John Augustus Roebling. Ia bermimpi membangun sebuah jembatan yang menghubungkan Kota New York dan Long Island. Impian John tidak mendapat dukungan bahkan ditertawakan oleh banyak temannya. Mereka mengganggap proyek itu adalah ide yang paling gila dan tidak mungkin diwujudkan pada zaman itu. Maka, John pun hanya bisa berbagi impian dengan anaknya, Washington Roebling. Washington juga seorang ahli teknik. Maka, ayah dan anak itu berjuang bersama untuk mewujudkan impian itu, diiringi pandangan sinis orang-orang di sekitar.

Ketika proyek itu baru berjalan beberapa bulan, terjadi kecelakaan yang fatal. Sayangnya, karena pertolongan yang terlambat, John Roebling tidak bisa diselamatkan. Sedangkan Washington, walaupun nyawanya selamat, tetapi mengalami cedera parah pada kepalanya yang mempengaruhi motoriknya. Washington menjadi lumpuh dan tidak mampu berbicara. Namun demikian, impaian ayahnya tentang jembatan tidak pernah padam dalam pikirannya.

Seorang pemilik kebun buah-buahan yang sudah cukup tua dan hampir meninggal dunia, memanggil dua orang putranya.

Ia memberi pesan kepada mereka “Sudah bertahun-tahun kebun kita selalu menghasilkan buah-buahan yang baik. Lihatlah tanganku ini. Kasar karena sering mencangkul kebun kita. Dan kamu berdua tak pernah bekerja membantuku. Sekarang aku akan memberitahukan kepadamu. Aku telah menyembunyikan harta karun di kebun kita. Harta karun itu milikmu berdua. Cangkullah dan galilah tanah di sekitar pohon buah-buahan!”

Tak lama lagi, pemilik kebun itu meninggal dunia.

Sekarang kebun buah-buahan itu menjadi milik kedua putranya. Tanpa menunda-nunda lagi, mereka berangkat ke kebun untuk menggali harta karun yang diceritakan oleh Bapak mereka.

Mereka menggali dan mencangkul setiap hari. Sekitar beberapa bulan mereka bekerja keras, datanglah musim buah-buahan. Tapi kedua orang bersaudara itu belum juga menemukan harta karun yang tersembunyi.

Pernah mengatakan hal semacam ini? “Wah.. pas banget ya.” Atau, “Kebetulan sekali… kok pas banget ya waktunya.” Jika pernah mengatakan hal tersebut, apa yang kita rasakan? Pastinya lega, senang, dan bahagia. Sebab, hal yang menyenangkan datang tepat pada waktunya. Pertanyaannya, tepat waktunya itu sebenarnya kapan terjadinya? Dan, apakah hal yang terasa pas itu bisa kita “ulang” kejadiannya?

Banyak orang mengatakan, faktor keberuntungan dan kebetulan adalah hal yang tak diduga-duga. Sebagian menyebut itu adalah “bakat”. Namun sebenarnya, keberuntungan adalah hal yang lumrah dan bisa dialami oleh siapa saja. Sebab, hampir semua orang pasti pernah merasakan seperti ungkapan kalimat di atas. Setidaknya, sekali—dan mungkin malah berkali-kali hingga lupa—merasakan sesuatu pas dengan yang diinginkan. Lalu, “menyimpulkan” hal tersebut sebagai kebetulan atau keberuntungan.

Kembali ke pertanyaan semula, lalu kapan sebenarnya hal tersebut terjadi? Dan, bagaimana kita bisa “mengulanginya”?

Ada dua buah benda yang bersahabat karib yaitu besi dan air.

Besi seringkali berbangga akan dirinya sendiri.

Ia sering menyombong kepada sahabatnya : “Lihat ini aku, aku kuat dan keras. aku tidak seperti kamu yang lemah dan lunak.” Air hanya diam saja mendengar tingkah sahabatnya.

Suatu hari besi menantang air berlomba untuk menenembus suatu gua dan mengatasi segala rintangan yang ada di sana.

Aturannya : “Barang siapa dapat melewati gua itu dengan selamat tanpa terluka maka ia dinyatakan menang.”

Rintangan pertama mereka ialah mereka harus melalui penjaga gua itu yaitu batu-batu yang keras dan tajam.

Alkisah, setelah selesai makan siang bersama, seorang pemuda bersama seorang teman kantornya berjalan santai menyusuri jalanan. Tiba-tiba dari arah yang berlawanan, seorang perempuan tua berpakaian sederhana menghampiri mereka sambil menenteng beberapa kantong plastik berisi sayuran.

“Maaf Tuan, mau beli sayuran ini? Saya sendiri yang menanam dan memetiknya,” kata si nenek penuh harap, sambil tangan keriputnya mengulurkan beberapa kantong plastik berisi sayur mayur. Setelah menatap si nenek sebentar, tanpa basa-basi, teman pemuda itu langsung mengeluarkan dompet dan membayarnya. Tiga kantong plastik sayuran pun berpindah tangan.

“Terima kasih Tuan, semoga Tuan diberi kelancaran dalam rezeki,” dengan suara bergetar terharu si nenek menggenggam erat uang jualannya.

Setelah nenek itu berlalu, si pemuda bertanya keheranan kepada kawannya, “Kamu benar-benar mau makan sayur ini…? Kamu lihat sendiri kan, sayur itu sudah layu dan mulai kuning. Ada ulatnya, lagi…”