Beberapa abad yang lalu, hiduplah seorang yang bijaksana dan pandai. Hanya saja, ia mempunya punggung yang bungkuk.

Ia jatuh cinta dengan seorang putri yang cantik dan menawan. Dan lagi dia anak orang kaya.

Orang bungkuk yang bijaksana ini mengunjungi sang putri di rumahnya. Sang putri sungkan untuk berbicara dengannya, apalagi berbicara sekitar perkawinan.

Kemudian ia bercerita bahwa perkawinan itu sudah ditentukan oleh Tuhan.

Ketika anak-anak lahir, para malaikat di surga memanggil mereka. Mereka sudah ditentukan untuk mempunyai pasangan. Itu sudah suatu keputusan ilahi, dan tidak seorang pun bisa mengubahnya.

Pada zaman dahulu kala di suatu negeri bernama Skotlandia, terdapat sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja yang bernama James. Selama masa jabatannya, James telah memimpin pasukannya menuju medan perang sebanyak enam kali melawan sang agresor yang berasal dari England.

Namun, pada setiap pertempurannya tersebut, pasukannya selalu saja kalah dan dihajar habis-habisan oleh pihak musuh yang membuat mereka terpaksa untuk mundur dan melarikan diri ke hutan menerima kekalahan.

Hingga pada suatu hari, James masuk ke dalam hutan dan melihat sebuah gubuk tua tanpa penghuni dan memutuskan untuk bersembunyi di sana untuk sementara waktu hingga keadaan membaik.

Setelah ia berhasil bersembunyi di dalam gubuk tersebut, James memutuskan untuk beristirahat sejenak dan memejamkan matanya. Hingga pada suatu waktu, hujan deras turun mengguyur hutan.

Di sebuah desa terpencil, tinggallah seorang kakek bersama dengan keluarga besarnya. Desa tempat mereka tinggal itu terletak di antara dua gunung besar.

Bila keluarga sang kakek itu hendak pergi ke desa lain, mereka harus berjalan kaki berhari-hari lamanya memutari gunung.

Tentu itu sangat melelahkan dan menyita banyak waktu.

Suatu saat, sang kakek tua dengan pemikirannya yang lugu dan sederhana mengemukakan tekadnya. Ia mengajak segenap keluarganya untuk bahu-membahu memindahkan gunung. Pada hari yang telah ditentukan, keluarga sang kakek pun mulai menggali tanah lereng gunung.

Hari demi hari dipenuhi dengan bekerja menggali-menggali dan menggali lereng gunung. Melihat kesibukan tersebut, beberapa hari kemudian para tetangga berdatangan.

Suatu hari ada seorang pria menemukan kepompong kupu-kupu. Ia kemudian membawanya pulang untuk melihat bagaimana perkembangan yang dilakukan oleh kupu-kupu dalam kepompong tersebut. Selang beberapa waktu kepompong tersebut mulai menunjukkan celah.

Setelah beberapa waktu kemudian kupu-kupu dalam kepompong mulai mengeluarkan sayap secara perlahan. Namun siapa sangka dalam proses tersebut, kupu-kupu mulai mengalami permasalahan yaitu sayapnya tersangkut karena celah yang ada pada kepompong hanyalah dalam ukuran kecil.

Pria yang sedang mengamati perkembangan kupu-kupu tersebut mulai mencoba untuk membantunya. Ia mengambil tindakan untuk memperlebar celah pada kampong tersebut. Alhasil kupu-kupu tadi bisa keluar tanpa adanya kendala.

Namun tak disangka jika masalah baru kembali datang terhadap kupu-kupu tersebut. Sayap yang kupu-kupu miliki menjadi lemah dan tak bisa mengepak. Ternyata kesalah terjadi ketika pria tersebut mulai membuat celah yang lebih besar pada kepompong.

Di sebuah desa terpencil, tinggallah seorang kakek bersama dengan keluarga besarnya. Desa tempat mereka tinggal itu terletak di antara dua gunung besar.

Bila keluarga sang kakek itu hendak pergi ke desa lain, mereka harus berjalan kaki berhari-hari lamanya memutari gunung.

Tentu itu sangat melelahkan dan menyita banyak waktu.

Suatu saat, sang kakek tua dengan pemikirannya yang lugu dan sederhana mengemukakan tekadnya. Ia mengajak segenap keluarganya untuk bahu-membahu memindahkan gunung. Pada hari yang telah ditentukan, keluarga sang kakek pun mulai menggali tanah lereng gunung.

Hari demi hari dipenuhi dengan bekerja menggali-menggali dan menggali lereng gunung. Melihat kesibukan tersebut, beberapa hari kemudian para tetangga berdatangan.

Ada seorang anak yang memiliki kondisi temperamen yang begitu buruk. Lalu ia diberikan sebungkus paku yang dari ayahnya. Ayahnya berkata jika anak tersebut sedang dalam kondisi marah ia harus memukul paku ke pagar.

Hari pertama ia menancapkan paku sebanyak 37. Namun seiring berjalannya waktu paku yang ia tancapkan ke pagar mulai berkurang. Hingga pada suatu waktu ia berhasil tidak menancapkan paku ke pagar.

Keberhasilan yang ia lakukan diceritakan kepada ayahnya. Sang ayahnya mulai memberikan perintah kembali untuk mencabut semua paku yang ia tancapkan di pagar sebelumnya. Lalu ketika anak tersebut telah menyelesaikan tugasnya, ia kembali menceritakan kepada ayahnya.

Lalu ayahnya mengajaknya keluar untuk melihat pagar tersebut dan berkata “bagus nak kamu sudah menyelesaikan tugasmu dengan baik. Kamu sudah berhasil menguasai rasa amarahmu juga. Tapi bagaimana dengan pagar tersebut masih tetap ada lubang yang tersisa dari tancapan paku itu?” Tanya sang ayah kepada anak.