Alkisah, ada seorang pemuda dari keluarga yang miskin yang rumah tinggalnya sering berpindah-pindah, karena ia hanya bisa mengontrak. Dalam hidup, keinginan terbesarnya adalah memiliki rumah sendiri. Karena itu, saat menikah, dia memaksa dirinya membeli rumah dengan cicilan selama 20 tahun. Akibatnya, dengan gajinya yang relatif kecil, ia harus mengatur pengeluarannya sedemikian rupa, sehemat mungkin, agar kebutuhan hidup bersama keluarganya tetap bisa tercukupi.    

Maka, sejak saat itu, hidup keluarga pemuda itu terpola dengan sangat hemat, irit, dan tanpa keleluasaan sedikit pun untuk bersantai. Si suami sangat ketat mengatur segala sesuatu agar cicilan rumah dapat terlunasi. Tak heran, setiap hari keluarga itu dilingkupi suasana tegang, mudah emosi, karena ketat sekali dalam pengeluaran uang.

Waktu pun terus berjalan. Pada suatu ketika, ibu pemuda tadi menyatakan keinginan kepada anaknya, “Anakku, keinginan ibu sebelum meninggal adalah kita bisa pergi berjalan-jalan ke daerah yang ibu sukai. Ibu mempunyai sedikit tabungan. Apakah kamu punya tabungan untuk menambahkan kekurangannya?”

Dengan pendidikan yang baik dan benar, kesuksesan sejati bisa kita dapatkan.

Pendidikan—sebagaimana pembelajaran—harus berjalan seumur hidup. Tentu, levelnya akan berbeda-beda. Pada masa remaja, pendidikan yang diutamakan adalah pendidikan dengan basis pembelajaran sebagaimana yang diajarkan dalam berbagai mata studi di sekolah. Bekal tersebut adalah modal dasar untuk menempuh jenjang pendidikan berikutnya. Yang berarti, jika ditekuni, bekal pendidikan dasar tersebut akan bermanfaat di kemudian hari.

Tetapi, di samping pendidikan formal dengan ilmu ajaran sesuai kurikulum, ada satu nilai pendidikan yang tak boleh kita lupakan. Yakni, pendidikan karakter dan mentalitas pribadi. Dahulu, kita dikenalkan dengan pendidikan budi pekerti, yang kemudian saat ini banyak berubah dalam berbagai versi. Dari pendidikan moral, agama, hingga berbagai pendampingan untuk memastikan murid yang berwatak positif.

Alkisah, ada seorang murid baru yang diperintah oleh gurunya untuk mengambil air di dekat sebuah sumur yang terletak di belakang perguruan.

Si murid pun bergegas menuju ke belakang untuk melaksanakan tugas yang diperintahkan. Tanpa berpikir panjang atau mempelajari situasi di sekitar sana, pikiran dan langkah kakinya langsung tertuju pada sumur dan ember untuk menimba air.

“Ahaa…itu dia ember kosong dan talinya,” serunya. Dengan gembira ,dia pun mulai memegang tali dan mengayunkan ember ke dalam sumur. Tetapi sampai tali yang dipegang di tangan hampir tiba di ujung, dirasakan ember nya tetap kosong, tidak juga menyentuh air di dalam sumur. Maka dia melakukan usaha lebih keras. Tubuhnya ikut dilengkungkan ke bawah seraya matanya menatap nanar berusaha menembus kegelapan sumur sambil tangannya sibuk mengayun-ayunkan ember. Tetapi tetap saja tidak ada apa pun yang tersentuh ember di bawah sana. Panas yang terik dan usaha sepenuh hati yang dilakukan berkali-kali membuat keringat mengucur deras membasahi bajunya.

Banyak orang mudah terbakar emosi saat dihina. Banyak orang gampang marah saat dicela. Tapi, mereka yang mampu mengubah hal negatif menjadi dorongan semangat, justru akan mampu mendapatkan lompatan luar biasa untuk mewujudkan impiannya.

Apa reaksi kita saat mendengar orang lain menjelek-jelekkan kita? Bagi yang mudah emosi, barangkali telinga akan langsung panas. Namun, ada kalanya, kita bertemu pula dengan orang yang seolah-olah selalu berkepala dingin, alias tak gampang marah. Tetapi, yang seperti ini, kadang pula malah memendam amarah dalam diri yang jika meledak, bisa mengganggu mentalitas.

Lantas, bagaimana sebenarnya kita harus menyikapi saat mendengar orang lain menjelek-jelekkan kita, baik secara langsung ataupun tidak? Mungkin, kita bisa belajar dari kisah inspiratif ini, untuk menjadikan celaan, hinaan, atau ejekan, justru mampu menjadi “bahan bakar” penyemangat hidup.

Alkisah, di sebuah hutan, terdapat sebuah bunga anggrek yang tumbuhnya menempel pangkal batang sebuah pohon besar. Anggrek sangat nyaman bersama sang pohon karena selain bisa mendapat makanan yang cukup, ia juga terlindung dari teriknya sinar matahari dan derasnya air hujan yang mengguyur.

Namun, suatu kali, bencana besar datang. Angin bertiup kencang saat itu, disertai hujan sangat lebat. Tiba-tiba petir menyambar. ”Blaaarr!!” dengan kerasnya, tepat di di pohon besar tempat anggrek bernaung.

Batang yang tadinya besar dan kokoh, kini patah beberapa bagian. Pohon yang tadinya jadi rumah si anggrek, telah hancur, hampir berantakan.

Anggrek menangis sejadi-jadinya, ketakutan akan masa depannya. “Pohon… kamu selama ini yang melindungi aku dari panas dan hujan. Kenapa kamu jadi begini? Kamu juga baik mengizinkan aku mengambil sebagian makanan dari batangmu.

Alkisah, suatu hari, seorang ayah muda membawa anaknya yang baru berusia sekitar 4 tahun untuk bermain di taman hiburan. Mereka sedang menantikan parade menyambut ulang tahun taman hiburan tersebut yang akan digelar mulai petang hari. Setengah jam sebelum atraksi dimulai, si ayah mengajak anaknya menuju tempat menunggu yang dianggap paling strategis untuk menonton parade.

Tak lama kemudian, orang yang berkumpul pun semakin banyak saat parade hendak dimulai. Si anak bergerak ke sana-sini dengan tidak sabar.

“Ayah, kapan mulai paradenya?” Beberapa kali suara kecilnya nyaring bertanya.

“Sebentar, Nak. Tuh lihat… sebentar lagi mulai. Sabar ya,” kata si ayah menenangkan anaknya.

Tidak lama, terdengar suara sirine tanda dimulainya iring-iringan parade.