Suatu hari, di sebuah negeri, seorang pemimpin hendak memberikan penghargaan kepada keluarga yang bisa dijadikan teladan di wilayahnya.

Karena itu, ia mengutus pejabatnya untuk mencari siapa-siapa saja keluarga yang layak mendapat penghargaan tersebut.

Sang pejabat pun segera menunaikan tugasnya, mendatangi satu per satu keluarga yang dianggap layak mendapatkan kehormatan tersebut. Salah satunya, kelurga terpandang tinggal di sebuah rumah besar. Sayangnya, mereka terkenal berperangai keras, lugas, dan tidak kenal kompromi.

Dari rumah besar nan megah tersebut sering terdengar percekcokan di antara anggota keluarga. Kadang hal-hal sepele pun bisa menyulut kemarahan, mendatangkan pertengkaran, bahkan tidak jarang berakhir dengan baku hantam.

Saat si pejabat masuk ke rumah dan belum lama duduk, dari dalam rumah tiba-tiba terdengar suara. Prang! Bunyi gelas pecah tersebut kemudian disusul teriakan suara dengan nada berang,  “Hei! Matamu di mana? Duh, bodoh sekali, gelas diam begitu main disenggol saja!”

Teriakan balasan pun segera bersambut, “Siapa suruh taruh gelas sembarangan di situ. Kalau gelasnya tidak ditaruh di situ, pasti tidak akan tersenggol. Dasar tidak punya otak!” Begitu seterusnya, satu sama lain saling menyalahkan dengan nada tinggi, tanpa ampun, dan masing-masing mau menangnya sendiri.

Mendengar kata-kata kasar dan makian di balik ruang tamu, si pejabat pun segera berpamitan dengan tuan rumah. Niat awalnya untuk menyampaikan undangan sebagai wakil keluarga teladan di daerah itu, akhirnya dibatalkan sebelum disampaikan.

Sambil menggelengkan kepala dan menghela napas panjang, si pejabat melanjutkan perjalanan untuk mengunjungi sebuah rumah besar lainnya yang berada tak jauh dari situ.

Setibanya di rumah keluarga berikutnya, si pejabat dipersilakan duduk di ruang tamu yang tampak sejuk dan asri. Dari tempat duduknya, terlihat seorang pemuda sedang mengepel lantai dengan tekun.

Saat melihat ada tamu datang, segera dihentikan kegiatannya. Ia menghampiri sejenak dan dengan ramah menyapa si pejabat.

Dari arah yang berlawanan, tiba-tiba seorang pemuda yang lain melintas dengan cepat sambil melihat buku yang sedang dibacanya. Tentu, ia tidak melihat lantai yang masih basah. Gubrak! Suara keras disusul suara mengaduh pun terdengar. Si pemuda rupanya terpeleset.

Sambil berseru kaget, tergopoh-gopoh si pemuda yang masih memegang tongkat pengepel, menghampiri. Ia berusaha membantu orang yang terjatuh untuk berdiri sambil berkata, “Aduh, maaf Kak. Aku yang salah. Aku kurang cepat mengepelnya, lantainya masih basah dan membuat terpeleset. Di mana yang sakit, Kak?”

Sambil meringis menahan sakit, si kakak yang terjatuh, menerima uluran tangan adiknya sambil berkata, “Bukan salahmu, Dik. Aku kok yang salah, jalan terburu-buru, jadi tidak melihat lantai masih basah. Nggak apa-apa. Teruskan saja mengepelnya.” Dia pun segera bangkit berdiri untuk menyambut kedatangan tamunya.

Menyaksikan peristiwa di hari yang sama di dua keluarga yang berbeda, si pejabat mengerti mengapa keluarga yang sedang dikunjunginya ini begitu disanjung oleh orang-orang di sekitar sana. Rukun, santun, kompak, dan saling menyayangi satu sama lain.

Entah siapa yang salah, satu sama lain saling mendahului untuk meminta maaf, tidak berusaha mencari kesalahan yang lain, dan membenarkan dirinya sendiri. Sungguh mengagumkan.

Di dalam hati sang pejabat membatin, inilah salah satu keluarga yang pantas menerima penghargaan sebagai keluarga teladan di daerah itu.

Memang, dalam kehidupan sehari-hari, sering kali hanya karena masalah sepele bisa timbul pertengkaran dan permusuhan. Semua berpangkal pada keinginan memuaskan ego atau gengsi manusia yang merasa benar sendiri, mau menang sendiri.
Kalau hal tersebut tidak bisa dikendalikan dengan baik, maka akan timbul dampak kelanjutannya berupa lahirnya kebencian, dendam, dan penderitaan yang berkepanjangan.
Sebaliknya, jika kita mampu meredam ego mau menang sendiri dan berinisiatif mengakui kesalahan dan memohon maaf seperti kisah di atas, maka banyak pertengkaran dan permusuhan bisa diredam, dan bahkan dihilangkan dengan segera.
Sebagai gantinya, akan lahir kedamaian dan keharmonisan yang seutuhnya, baik di skala kecil seperti dalam keluarga maupun skala yang lebih besar, yakni bermasyarakat, bahkan bernegara.
Sikap mau mengakui kesalahan sendiri memang membutuhkan jiwa besar. Untuk itu, kita butuh belajar dan berlatih di setiap kesempatan.
Mengakui kesalahan, mau meminta maaf dengan tulus dan berjanji tidak akan mengulanginya adalah jiwa ksatria yang tinggi nilainya di mata Tuhan. Mari, buka hati, lapangkan jiwa, dan bersihkan pikiran, maka kita akan jadi pribadi yang penuh arti.

Sumber: https://iphincow.com