Pemerintah resmi menempatkan dana sebesar Rp 200 triliun di Himpunan Bank Milik Negara (Himbara).
Kebijakan ini dinilai dapat mendorong investasi, produksi, hingga penciptaan lapangan kerja di sektor manufaktur dan padat karya.
Namun demikian, efektivitas kebijakan tersebut akan ditentukan oleh bagaimana anggaran benar-benar menyentuh kebutuhan industri, khususnya manufaktur dan sektor padat karya yang menjadi penopang serapan tenaga kerja nasional.
Ketua Umum Himpunan Kawasan Industri Indonesia (HKI), Akhmad Ma’ruf Maulana, menyebut dukungan dana jumbo itu harus diarahkan untuk memperkuat daya saing industri manufaktur dan sektor padat karya, yang merupakan salah satu tulang punggung ekonomi.
Sekretaris Kementerian Koordinator (Sesmenko) Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso memaparkan realisasi investasi di 25 Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) telah mencapai Rp294 triliun pada semester I-2025.
Porsi terbesar investasi masih didominasi industri manufaktur dan pengolahan. Sementara itu, sektor jasa seperti pendidikan, kesehatan, serta ekonomi kreatif digital juga terus berkembang, meski nilai pembangunan fisiknya tidak sebesar industri manufaktur.
"Dari sisi tenaga kerja, KEK berhasil menyerap 187 ribu pekerja hingga pertengahan 2025. Penyerapan tertinggi berasal dari KEK Kendal, KEK Gresik, dan KEK Galang Batang," jelas Susiwijono dalam Konferensi Pers Kinerja Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) kuartal II 2025, Jakarta, dikutip Rabu, 10 September 2025.
Jumlah pelaku usaha dalam KEK juga meningkat, dengan total 442 perusahaan. KEK Kendal mencatat jumlah terbanyak, yakni 128 industri, dan diperkirakan terus bertambah, termasuk di KEK Gresik.
Himpunan Kawasan Industri Indonesia (HKI) menyambut baik kebijakan pemerintah menyalurkan dana sebesar Rp 200 triliun ke sektor riil. Ketua Umum HKI, Akhmad Ma’ruf Maulana berharap langkah ini bisa memberikan dorongan langsung pada investasi, produksi dan penciptaan lapangan kerja.
Hanya saja, Ma'ruf memberikan catatan bahwa efektivitas kebijakan tersebut akan sangat ditentukan oleh bagaimana dana ini benar-benar menyentuh kebutuhan industri. Khususnya industri manufaktur dan sektor padat karya yang menjadi penopang serapan tenaga kerja nasional.
“Dukungan dana sebesar ini harus mampu memperkuat daya saing industri manufaktur dan padat karya, karena keduanya memiliki multiplier effect yang luas dari penciptaan lapangan kerja, peningkatan ekspor, hingga penguatan rantai pasok nasional,” ungkap Ma'ruf dalam keterangan tertulis yang diterima Kontan.co.id, Senin (15/9).
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mendorong industri alat kesehatan (alkes) domestik mengambil peluang ekspor produk ventilator dan mesin anestesi, mengingat industri dalam negeri sudah berhasil memproduksi alat tersebut.
Direktur Industri Permesinan dan Alat Mesin Pertanian Kemenperin, Solehan di Depok, Senin menyampaikan salah satu produsen produk alkes tersebut yakni PT Graha Teknomedika (GTM) dan Mindray Medical International Limited yang berhasil membuat dua jenis ventilator yaitu V300 dan SV800, serta tiga tipe mesin anestesi yaitu WATO EX-35, EX-65 PRO, dan A8.
"Produksi ventilator dan mesin anestesi ini selaras dengan roadmap Making Indonesia 4.0, yang menempatkan sektor alat kesehatan sebagai pilar transformasi menuju ekonomi berbasis teknologi tinggi," ucapnya.
Ekonomi Indonesia terus menunjukkan tren positif. Aktivitas industri makin ramai, pasar dalam negeri kuat, dan permintaan ekspor ikut meningkat. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia mencapai Rp 5.947 triliun pada triwulan II-2025. Angka ini mencerminkan peningkatan aktivitas ekonomi di berbagai sektor sekaligus menandakan roda industri bergerak semakin cepat seiring kenaikan permintaan pasar.
Perekonomian Indonesia masih didominasi oleh industri pengolahan dengan kontribusi 18,67%, disusul sektor pertanian, perdagangan, konstruksi, serta pertambangan. Kelima sektor ini menyumbang 63,59% terhadap perekonomian nasional. Kondisi tersebut membuka peluang besar bagi dunia usaha, namun juga menghadirkan tantangan dalam menjaga kelancaran produksi dan efisiensi operasional.
Dengan peran industri yang begitu besar, aktivitas produksi pun semakin intens. Mesin, peralatan, dan sarana industri dipacu untuk memenuhi lonjakan kebutuhan pasar. Namun intensitas penggunaan juga membawa konsekuensi, mulai dari potensi keausan, penurunan efisiensi, hingga downtime yang bisa menghambat produksi.
Setelah lima bulan berturut-turut terjebak dalam kontraksi, industri manufaktur Indonesia akhirnya kembali bernapas lega. Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur pada Agustus 2025 menembus level ekspansi di angka 51,5, naik 2,3 poin dibanding Juli yang hanya 49,2.
Menteri Perindustrian (Menperin), Agus Gumiwang Kartasasmita, menilai lonjakan tersebut memperlihatkan kepercayaan pelaku industri dalam menjalankan usahanya. Bahkan ketahanan industri manufaktur dalam negeri di semakin baik tengah dinamika politik dan ekonomi nasional maupun global.
“Kami menyambut baik laporan PMI manufaktur bulan Agustus ini yang menunjukkan adanya pemulihan kinerja manufaktur nasional. Peningkatan ini didorong oleh bertambahnya pesanan baru, baik itu dari pasar domestik maupun ekspor, serta juga meningkatnya aktivitas pada produksi,” ujar Agus dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (3/8/2025).
Page 9 of 147


