Ekosistem Industri Tak Bisa Dibangun Instan
Pemerintah memperkuat sektor industri manufaktur sebagai respons atas ketidakpastian ekonomi global yang belum mereda. Langkah ini ditempuh melalui reformasi kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan revisi aturan pengadaan barang dan jasa Pemerintah.
Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2025 sebagai bentuk afirmasi terhadap produk lokal dalam proyek-proyek Pemerintah.
“Kalau industri nasional tidak dilindungi, sangat mudah runtuh. Ekosistem industri tidak bisa dibangun instan. Perpres ini hadir untuk menjaga keberlanjutan industri nasional,” ujar Agus dikutip, Senin (12/5/2025).
Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) menilai peluang untuk menarik investor merelokasi bisnis sektor manufaktur ke Indonesia masih terbuka lebar di tengah ketidakpastian imbas perang tarif global.
Wakil Ketua Kadin Bidang Perindustrian, Saleh Husin mengatakan prospek penanaman modal asing (PMA) tetap terbuka luas, utamanya bagi sektor strategis seperti manufaktur di bidang elektronik, otomotif, hingga tekstil.
“Namun, untuk benar-benar menjadi tujuan utama relokasi industri, Indonesia harus bersaing dengan negara-negara seperti Vietnam, Malaysia, dan Thailand,” ujar Saleh kepada Bisnis, Selasa (6/5/2025).
Saleh menuturkan terdapat beberapa langkah kunci agar Indonesia dapat menangkap peluang relokasi pabrik dari sejumlah negara yang terkena tarif tinggi resiprokal dari AS.
Pertama, Indonesia disebut harus segera melakukan penyederhanaan birokrasi perizinan dan kepastian hukum investasi. Kedua, penguatan infrastruktur dari sisi logistik, kawasan industri, pelabuhan.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan penting bagi Indonesia memperkuat ekosistem industri ramah lingkungan alias industri hijau. Terutama jika industri dalam negeri ingin mengekspor produk-produknya ke luar negeri.
Sebab menurutnya sejumlah negara seperti Amerika Serikat (AS), Inggris, hingga Uni Eropa (UE) menerapkan kebijakan impor yang cukup ketat untuk memastikan produk yang mereka terima ramah lingkungan. Baik dari proses produksi hingga produk itu sendiri.
Misalkan saja di AS menerapkan kebijakan aturan import bebas polusi atau polluter import fee, Inggris dengan kebijakan anti-deforestasi untuk sejumlah komoditas tertentu, dan Uni Eropa yang menerapkan kebijakan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM), di mana seluruhnya akan menyulitkan masuknya produk-produk yang tidak ramah.
Indonesia masuk sepuluh besar negara dengan nilai tambah manufaktur atau Manufacturing Value Added (MVA) tertinggi di dunia. Berdasarkan data Bank Dunia, nilai tambah manufaktur Indonesia sebesar USD 255,96 miliar per 2023, membuat Indonesia masuk peringkat ke-10.
Tahun sebelumnya, Indonesia berada di peringkat ke-12 dengan nilai tambah manufaktur sebesar USD 241,87 miliar.
Adapun di posisi pertama ditempati oleh China, dengan nilai tambah manufaktur sebesar USD 4,65 triliun. Disusul Jerman USD 838,89 miliar, India USD 461,38 miliar, Korea Selatan USD 416,39 miliar, dan Meksiko USD 358,92 miliar.
Selanjutnya, Italia sebesar USD 353,62 miliar, Prancis USD 297 miliar, Brasil USD 289,79 miliar, Inggris USD 279,89 miliar, dan Indonesia USD 255,96 miliar.
Investasi asing di sektor kimia mengalami perlambatan pada awal tahun ini. Biang keroknya disinyalir polemik pasar domestik yang dibanjiri produk impor serta konflik panas perang dagang.
Tak heran, jika merujuk pada realisasi investasi penanaman modal asing (PMA) sektor industri kimia dan farmasi, nilainya turun 15,11% menjadi US$913,72 juta (year on year/yoy). Sementara itu, pada kuartal I/2024, realisasi investasi sektor tersebut tercatat mencapai US$1,08 miliar.
Kendati demikian, secara kuartal realisasi PMA di sektor kimia dan farmasi naik 1,46% dibanding periode sebelumnya (quarter to quarter/qtq). Pada kuartal IV/2024, PMA di sektor itu senilai US$900,6 juta.
Asosiasi Kimia Dasar Anorganik Indonesia (Akida) tak memungkiri kondisi industri tertekan imbas kebijakan relaksasi impor yang memicu produk impor mudah masuk ke pasar dalam negeri. Dinamika global seperti pengenaan tarif impor oleh Amerika Serikat juga memperparah kondisi usaha.
Investasi LG Energy Solution (LGES) dipastikan tetap mengalir di Indonesia meski telah didepak dari Grand Project ekosistem baterai listrik berbasis nikel di Indonesia. Posisinya kini direbut oleh pabrikan baterai asal China, Zhejiang Huayou Cobalt.
Sementara itu, LGES memilih untuk fokus pengembangan pabrik sel baterai yang merupakan perusahaan patungan dengan Hyundai yakni PT Hyundai LG Indonesia (HLI) Green Power. Produsen baterai asal Korea Selatan itu disebut akan menambah investasi US$1,7 miliar atau setara Rp28 triliun.
Adapun, pabrik PT HLI juga dikenal dengan sebutan Proyek Omega yang merupakan joint venture (JV) ke-4 dalam Grand Project ekosistem baterai RI. Proyek ini fokus pada produksi sektor hilir berupa cells battery untuk menyuplai kebutuhan produksi kendaraan listrik di pabrik Hyundai.
Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengungkap investasi LGES dan Hyundai di pabrik HLI sebesar US$1,1 miliar atau setara dengan Rp18,46 triliun. Pabrikan tersebut telah berproduksi sejak Juli 2024.
Page 5 of 132