Kalangan ekonom memperkirakan pasar domestik bakal menjadi tulang punggung sektor manufaktur RI seiring dengan terjadinya pelemahan ekspor nonmigas dan impor bahan baku/penolong periode September 2022.

Sebagaimana diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan ekspor nonmigas ke Uni Eropa pada September 2022 turun sebesar 21,47 persen secara bulanan (month-to-month/mtm) dengan nilai US$1,80 miliar.

Tidak hanya di Uni Eropa, pada periode yang sama penurunan nilai ekspor nonmigas juga terjadi di kawasan Asean, yakni sebesar 6,46 persen secara bulanan dengan nilai US$4,44 miliar.

Penurunan itu beriringan dengan anjloknya impor bahan baku/penolong sebesar 11,07 persen secara bulanan. Padahal, kontribusi nilai impor bahan baku/penolong mencapai 77,14 persen terhadap total impor.

Melihat situasi tersebut, Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal memperkirakan pasar domestik akan menjadi tulang punggung kinerja sektor manufaktur di dalam negeri karena dinilai lebih resilience.

"Ke depannya, pasar domestik akan lebih resilience dan menjadi tulang punggung sektor manufaktur di dalam negeri ketimbang pasar ekspor," kata Faisal kepada Bisnis.com, Senin (17/10/2022).

Sebagai Informasi, penurunan impor bahan baku/penolong pada September 2022 disebabkan oleh sejumlah komoditas, di antaranya besi dan baja sebesar 25,57 persen, plastik dan barang dari plastik 17,49 persen, serta bahan bakar mineral (BBM) 8,93 persen.

Besi dan baja serta BBM sendiri tergolong ke dalam 5 besar komoditas penyumbang terbesar penurunan ekspor. Masing-masing komoditas mengalami pengurangan nilai ekspor US$132,8 juta dan US$83,8 juta.

Selain itu, penurunan impor bahan baku/penolong September 2022 merupakan yang tertinggi sejak Januari 2022 dan pertama kali terjadi dalam 3 bulan terakhir. Pada Januari 2022, impor bahan baku/penolong anjlok 11,35 persen.

Dengan penurunan tersebut, total impor bahan baku/penolong pada September 2022 senilai US$14,90 miliar. Pada Agustus lalu, nilai impor bahan baku/penolong masih menempati posisi tertinggi kedua sepanjang tahun berjalan, yakni US$16,75 miliar.

"Namun, terlalu dini untuk menyimpulkan karena baru satu bulan. Harus dilihat lagi tren ke depan meskipun tren ini mesti diwaspadai," ujar Faisal.

Sumber: https://ekonomi.bisnis.com