Konsep industri 4.0 harus diadopsi dan diterapkan pada sektor manufaktur, sehingga mampu mentransformasi industri manufaktur menjadi industri berbasis digital.
Kemudian berdampak pada peningkatan efisiensi sektor produksi sehingga menghasilkan produk yang berdaya saing tinggi di pasar domestik maupun pasar global.
Ini disampaikan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita pada acara Indonesia 4.0 Conference & Expo 2025 di Jakarta, Selasa (17/9/2025).
“Indonesia sebagai negara besar dan negara yang kaya sumber daya alam belum dapat mengadopsi, menerapkan inovasi, untuk pertumbuhan ekonomi. Salah satu inovasi yang diharapkan diadopsi dan diterapkan pada sektor produksi adalah transformasi industri 4.0.
Transformasi digital pada manufaktur ini diharapkan mampu mengefisienkan proses produksi, meningkatkan produktivitas perusahaan dan tenaga kerja serta meningkatkan daya saing produk manufaktur Indonesia dibandingkan dengan produk manufaktur yang diproduksi oleh negara lain,” ucapnya, dikutip dari siaran pers Kemenperin, Rabu (18/9).
Kementerian Perindustrian telah mendorong transformasi digital pada sektor manufaktur sejak tahun 2018 melalui program industri 4.0. Namun sampai saat ini, hasilnya belum begitu memuaskan. Penerapan industri 4.0 masih belum luas pada industri di berbagai subsektor. Hal ini disebabkan karena sebagian industri masih memandang transformasi digital pada industri dinilai sebagai beban atau biaya (cost) dan bukan investasi untuk keberlanjutan industrinya.
Tidak hanya itu, dari sisi internal Kemenperin juga kurang inovasi dalam pengembangan dan penerapan industri 4.0 pada industri. Internal Kemenperin harus terus mengevaluasi konsep industri 4.0 dan penerapan bagi industri serta pencapaian target dan outcome dari program ini. Contoh inovasi pada transformasi hijau dengan konsep Gisco dalam transformasi industri hijau, konsepnya lebih mudah diterima pihak dalam ekosistem industri nasional.
Data Indonesia dalam World Digital Competitiveness Ranking 2024 yang dirilis oleh International Institute for Management Development (IMD), Indonesia berhasil naik dua peringkat dari tahun sebelumnya sehingga kini menempati posisi ke-43 dari 67 negara.
“Walaupun Indonesia dari tahun sebelumnya bisa naik dua peringkat, namun untuk tingkat digital competitiveness kita ini masih jauh dari memuaskan. Saya tidak puas dengan ranking ini. Kalau ranking 43 dari 120 negara, itu masih oke,” tuturnya. Dari tiga faktor utama yang diukur, salah satu yang paling menonjol adalah future readiness atau tingkat kesiapan suatu negara dalam memanfaatkan peluang digital. Aspek ini mencakup sikap adaptif, kelincahan bisnis, serta integrasi teknologi informasi yang semakin berkembang di tanah air.
Menperin mengemukakan, kondisi tersebut berdasarkan laporan Global Innovation Index (GII) 2024 yang dirilis World Intellectual Property Organization (WIPO), Indonesia menempati peringkat ke-54 dari 133 negara, serta berada di peringkat ke-8 di antara kelompok negara upper-middle income.
“Dalam laporan tersebut, tercatat bahwa enam indikator Indonesia mengalami perbaikan dalam jangka pendek. Perbaikan itu meliputi publikasi ilmiah, investasi penelitian dan pengembangan (R&D), jumlah paten internasional, konektivitas digital, penggunaan robot, serta produktivitas tenaga kerja,” ujarnya.
Namun demikian, lanjut Menperin, yang perlu menjadi catatan dari data tersebut antara lain adalah perbandingan dengan data tahun sebelumnya, negara-negara yang menempati peringkat di atas Indonesia, dan posisi negara-negara di Asean.
“Karena dari catatan ini, kami bisa pelajari negara-negara yang di atas peringkat kita, sehingga kita bisa menyusun kebijakan untuk mengejar peringkat yang lebih baik lagi. Untuk memperbaiki ranking tersebut, tentu masih banyak homework yang harus diselesaikan, dan banyak hal-hal yang harus dibenahi untuk mempercepat transformasi digital di sektor industri,” imbuhnya.
Sumber: https://wartaekonomi.co.id