Manusia besar adalah manusia yang mampu mengolah sakit hati menjadi prestasi.

Salah satu rangkaian dalam hidup yang harus kita hadapi adalah sakit hati. Sakit hati entah karena perilaku orang lain; atau entah karena perilaku kita sendiri tapi kita tidak tanggap sehingga setiap orang yang dekat dengan kita dan melakukan suatu hal kecil membuat kita menjadi sakit hati. Terbakar, terluka dan akhirnya kita berpikir bahwa mereka tidak mengerti kita.

Contoh yang paling jelas tentang sakit hati bisa dilihat di televisi. Berita suami istri saling sakit hati, lalu mengakhiri rasa sakit itu dengan tindakan kriminal. Seorang murid yang sakit hati dan melukai gurunya. Anak kecil yang sakit hati dengan temannya lalu melukainya.

Sakit hati ada di mana-mana. Sakit hati bukan lagi dikenal sebagai penyakit yang tertera di buku resep dokter. Sakit hati lebih dikenal dengan sakit perasaan. Jiwa yang sakit. Bila sakit hati itu dipendam menjadi sebuah dendam. Pandawa disakiti oleh Kurawa. Dikucilkan di hutan. Para Nabi dikucilkan pengikutnya sendiri. Para pemimpin sering ditikam dari belakang justru oleh orang yang ada di sampingnya.

Sakit di hati adalah sebuah rasa yang tertusuk dan nyeri. Sulit untuk mengungkapkannya dengan kata-kata. Sakit ini bisa menetap bila tidak diobati. Menjadi bara yang membakar dalam konotasi positif dan negatif. Positif ketika sakit ini membakar ke arah prestasi. Negatif ketika justru sakit ini berubah menjadi dendam tak berkesudahan.

Saya selalu ingat bagaimana rupa teman-teman yang sakit hati. Ada yang merasakan begitu perihnya sakit hati hingga tidak bisa bangkit. Ada yang menyalurkanya pada sesuatu yang lain. Mimpi yang lebih indah lewat rokok. Ada yang tenang saja dan menganggap sakit di hati adalah angin lalu.

Belajar Dari Sakit Hati

Saya juga pernah sakit hati. Sakit karena perlakuan teman-teman ketika kecil dulu. Ketika nilai rapor berhias angka merah untuk satu pelajaran bernama matematika. Saya sendiri kurang ingat kenapa saya bisa mendapatkan angka itu di rapor. Apakah karena guru terlalu lelah hingga tertukar dengan nilai teman yang absennya di atas atau di bawah saya yang nama depannya sama dengan saya. Atau karena memang saya yang sudah berada pada kondisi memberontak pada saat kelas lima SD sehingga ingin melihat sesuatu yang berbeda di rapor saya.

Tapi nilai itu menjadi satu tonggak untuk paham banyak hal. Bahwa ketika nilai itu berada di rapor, entah kenapa teman-teman perempuan menyoraki saya lalu menganggap saya bodoh. Untuk nilai lima yang hanya satu itu, saya dikucilkan oleh mereka yang sebelumnya juga tidak memiliki nilai di atas saya.

Saya sakit hati untuk nilai lima itu tapi saya berusaha keras agar nilai lima itu berubah. Perjuangan untuk mendapatkan perubahan nilai itu yang berat, karena harus fokus pada buku dan keyakinan penuh untuk menyadarkan teman-teman bahwa nilai itu yang salah, bukan saya.

Di penghujung semester, sakit hati yang saya olah menjadi suatu bentuk keyakinan dengan giat belajar itu berubah menjadi nilai lain yang membuat teman-teman yang menyudutkan saya diam. Terlebih ketika guru mengumumkan prestasi lain sebagai murid dengan nilai tertinggi nomor tiga di kelas.

Saya juga sakit hati ketika teman-teman tidak mau mengajak saya ke kolam renang untuk berenang karena saya dianggapnya tidak bisa berenang. Walaupun saya pada akhirnya bisa berenang, teman-teman beranggapan bahwa cara saya berenang kacau balau. Justru karena dikecilkan seperti itu, saya berjuang keras untuk bisa berenang. Menutup telinga untuk fokus pada kemampuan bisa berenang. Lalu tersenyum sendiri ketika mampu melompat dari papan lompat sambil menghadap ke teman-teman dan meluncur hingga ke dasar untuk kemudian timbul kembali.

Sakit hati yang hanya membuat kita duduk diam tak bergerak bahkan hanya menangisi nasib hanya akan membuat sakit hati itu berputar di ranah sakit hati, bukan ranah lain yang harusnya menjadi fokus dalam tujuan hidup kita.

Sakit hati yang berikutnya adalah ketika saya menyadari bahwa memiliki tubuh yang gemuk adalah tidak menyenangkan. Apalagi di saat tumbuh kembang sebagai remaja. Selalu saja ada mulut usil yang mengatakan hal yang buruk seolah bertubuh gemuk adalah kutukan. Sakit hati itu membuat justru saya semakin mengolah prestasi di bidang penulisan. Melecut diri sendiri dan yakin pada suatu saat cara saya ini akan mendatangkan banyak kebahagiaan untuk saya. Lalu tubuh yang gemuk itu mudah disiati dengan pola makan dan olah raga yang baik.

Toh segalanya menjadi mudah ketika dilakukan dengan fokus pada tujuan dan target kita. Bukan fokus pada omongan miring yang justru membuat langkah lurus kita menjadi miring. Yakin bahwa setiap kemudahan terjadi karena kita mencari kemudahan itu dan tidak meratapi setiap kesulitan yang kita hadapi.

Sakit Hati Bukan Hal Penting

Sakit hati sesungguhnya bukan hal penting ketika kita sadar kita yang menciptakan dan memelihara rasa itu. Seorang pengamen yang mengamen dari satu rumah ke rumah yang lain bisa jadi sakit hati karena ia ditolak. Tapi memelihara sakit hati itu cuma akan membuatnya bergerak jadi pengamen dengan nasib yang sama seperti itu.

Saya pernah sakit hati dengan seorang pemulung yang menolak pemberian saya. Tapi sakit hati itu saya olah menjadi hal lain yang lebih menyehatkan. Pola pikir positif bahwa siapa tahu pemulung itu menolak karena ia punya harga diri dan bisa jadi hidupnya jauh lebih baik ketimbang saya. Bisa jadi juga karena ia terbiasa mendapatkan barang yang justru tidak layak pakai yang seharusnya masuk ke tong sampah sehingga pemberian itu hanya pengalihan dari tong sampah ke tempatnya.

Pola pikir bisa jadi seperti itu membuat akhirnya saya mengubah kalimat ketika memanggil pemulung untuk membagi barang. Ucapkan kata lebih sopan, iringi dengan kata maaf karena takut ia tersinggung dan sampaikan terima kasih karena mereka jsutru yang membantu kita mengurangi barang tidak terpakai di rumah.
Peristiwa lainnya mengajarkan banyak hal.

Sakit hati ketika anak-anak berucap tidak baik, justru membuat saya sebagai orangtua mengambil jalan intropeksi. Hingga akhirnya tahu penyebab sebenarnya kenapa kata-kata tidak baik itu bisa ke luar dari mulut anak-anak.

Sakit hati sering terjadi karena kita berharap terlalu banyak. Dan yang kita terima tidak sesuai harapan. Sakit hati bisa juga karena kita menganggap diri kita terlalu tinggi hingga tidak terima ketika direndahkan.

Pilihan ada pada kita. Memelihara sakit hati atau mengolahnya menjadi prestasi.

Sumber: https://andriewongso.com