Dikisahkan, ada seorang saudagar yang masih muda usia, berwajah tampan, dan hidup bergelimang harta kekayaan. Sayangnya, sikapnya sangat sombong, mau menang sendiri, suka menyinggung perasaan orang lain, bahkan sering menindas orang-orang kecil di sekitarnya. Karena tabiat buruk tersebut, ia pun mulai dijauhi oleh orang-orang di sekitarnya. Merasa dirinya makin tersingkir, pikirannya galau dan hatinya dipenuhi amarah yang mendalam.

Suatu hari, si saudagar muda pergi mendatangi seorang guru bijak demi meminta saran dan nasihatnya, agar orang-orang di sekitarnya tidak lagi menjauhi atau mengucilkan dirinya. Setelah mendengar semua keluh kesahnya, sang guru berkata dengan bijak, “Anak muda, sebagai terapi, lakukanlah hal-hal berikut ini: setiap saat kamu berbuat jahat, menyakiti hati orang lain, tandailah perbuatanmu dengan menancapkan sebuah paku di atas pagar depan rumahmu. Dan begitu pagar rumahmu telah penuh dengan tancapan paku, datanglah kembali kepadaku.”

Maka, pulanglah saudagar muda ini ke rumah dan menjalankan nasihat gurunya. Setiap kali ia berbuat jahat atau menyakiti hati orang lain, ia tancapkan sebuah paku di atas pagar rumahnya. Selang beberapa bulan kemudian, pagar rumahnya telah penuh oleh tancapan paku. Dan kenyataannya, tidak ada perubahan. Orang-orang di sekitarnya menjauh dan tidak mau berhubungan dengannya. Saudagar muda ini merasa lelah, kecewa dan tidak bahagia.

Lalu, kembali ia mendatangi sang guru untuk meminta wejangan selanjutnya. Sang guru yang sudah menduga kedatangannya berkata, “Anak muda, dari raut wajahmu, bapak tahu, tentu pagar rumahmu sudah dipenuhi paku. Benar? Nah, sekarang cobalah berbuat baik dan ramah kepada orang lain dan setiap kali kamu urung berbuat jahat atau mampu berbuat baik kepada orang lain, cabut satu paku dari pagarmu. Dan bila paku-paku yang di pagar itu sudah habis kau cabuti, datanglah  kembali ke sini.”

Si saudagar muda pulang dan bertekad mematuhi nasehat sang guru. Setiap hari, ia berusaha sekuat tenaga mengendalikan sikap buruknya dan  setiap kali mampu menahan diri tidak berbuat buruk atau berhasil melakukan perbuatan baik, segera satu paku dia cabut. Dan beberapa bulan kemudian, paku-paku di pagar rumahnya pun telah habis dicabuti. Tanpa disadari, saudagar muda ini telah berubah menjadi orang yang lebih sabar, mau mengerti orang lain, dan lebih bijak.

Saat tiba kembali di rumah sang guru, dengan senyum gembira sang guru menyambutnya dan kerkata, “Anak muda, sekarang kamu tentu sudah menjadi orang yang berbeda. Kau pasti lebih sabar, lebih bijak, dan mampu melakukan perbuatan baik. Nah, pelajaran apa yang bisa dipetik dari semuanya ini? Lihatlah pagarmu, di sana ada bekas tancapan paku, bukan? Mau ditutupi atau dipoles seperti apa pun, tetap saja pagar rumahmu tidak bisa mulus seperti sediakala. Nah, sama seperti itulah luka yang pernah kau timbulkan pada orang lain. Walaupun kamu berusaha untuk meminta maaf dan memperbaikinya, tetap ada bekas luka di hati mereka”.

Pembaca yang Bijaksana,

Manusia tidak luput dari berbuat salah, entah disengaja atau tidak. Saat kita menyadari, secara konsekuen, kita sepantasnya meminta maaf dan berjanji untuk tidak mengulangi.

Sebaliknya, tidak semua orang mau memaafkan apalagi jika kesalahan atau perlakuan buruk itu sungguh-sungguh melukai hati, menjatuhkan harga diri, dan menimbulkan penderitaan batin yang berkepanjangan.

Memang, sering kali perbuatan buruk menimbulkan dendam yang sulit dihilangkan hanya dengan permintaan maaf. Tetapi jika telah terlanjur terjadi, sepantasnya harus belajar memaafkan demi kedamaian dan kebahagiaan kita sendiri.

Seperti pepatah bijak yang mengatakan, “Punya satu musuh kebanyakan, punya seribu teman kekurangan”. Mari, kita jaga ucapan, hati dan pikiran, juga sikap dan perilaku kita, dan jangan pernah jadikan itu semua sebagai paku-paku yang melukai hati sesama. Sebaliknya, jadikan diri kita sebagai berkat bagi sesama. Jika kita mampu melakukan hal ini, kita akan menjadi lilin-lilin penjaga perdamaian dunia dan membuat dunia ini menjadi tempat yang indah untuk didiami.

Salam sukses luar biasa!

Sumber: https://andriewongso.com