“Sepanjang waktu ini kupikir aku sedang belajar untuk hidup, padahal sesungguhnya aku belajar untuk mati,” ungkap Leonardo Da Vinci (1452-1519).

Ucapan dari “jeniusnya para jenius” tersebut—serta judul di atas—tak hendak bertujuan menyebarkan rasa takut, pesimis atau tiadanya harapan. Akan tetapi sebaliknya, kesadaran bahwa kematian semakin mendekat, justru dapat mendorong kita untuk semakin menjalani hidup secara Iebih mendalam, sehingga kita dapat benar-benar merasakan hidup yang Iebih hidup.

Dua tahun setelah mengalami serangan jantung yang hampir merenggut nyawanya—Abraham Maslow (1908-1970), salah seorang psikolog terbesar pada Abad ke 20—menganggap kehidupannya pasca serangan jantung tersebut sebagai “kehidupan pasca-kematian”, yang membuatnya menjalani hidup di tahun-tahun berikutnya sebagai bonus, atau berkat ekstra yang sangat ia syukuri. Jika Anda berdamai dengan kematian atau bahkan jika Anda cukup yakin bahwa Anda akan mengalami kematian yang balk dan terhormat, maka setiap hari akan Anda jalani sebagai layaknya momen tunggal. Dan perasaan takut mati, akan dihapuskan, tegas Maslow.

Dalam kata pengantar untuk sebuah buku biografi, Prof. Dr. Komarudin Hidayat menyampaikan: “Tuhan telah menciptakan panggung kehidupan yang demikian akbar dengan segala fasilitasnya agar anak-cucu Adam meramaikan dan memakmurkannya sebagai sebuah festival. Sebagai individu, jatah umur kita sungguh sangat terbatas dibanding usia manusia secara berkesinambungan, dan generasi ke generasi.

Tak ada yang bisa memutar jarum kehidupan. Semenit yang lalu tak bisa dipanggil kembali. Sedangkan yang menunggu di depan adalah ketuaan dan kematian. Mati adalah pasangan hidup, keduanya bersahabat dan tidak mungkin dipisahkan. Hanya manusia sering memandang kematian secara negatif. Bagi kalangan sufi, kematian adalah ‘wisuda’, momen metamorforsis memasuki jenjang hidup baru yang lebih tinggi derajatnya. Mati adalah pintu gerbang untuk semakin mendekat pada Dia yang Maha Kasih.

Kasih Tuhan bagaikan samudera yang senantiasa menunggu dan merindukan kehadiran sungai, dan manapun datangnya. Setetes embun yang menempel di daun, atau air yang mampir di atas meja, semuanya tengah dalam perjalanan mencari sungai agar diantarkan pulang ke samudera, tempat asalnya. Dan ribuan sungai itu bagaikan berpawai riang menuju samudera merindukan tempat asalnya. Begitulah jiwa manusia, dalam kesadarannya yang paling dalam sangat sadar bahwa seindah-indah ataupun sepahit-pahit kehidupan pasti akan berakhir. Tiada festival tanpa akhir,” tulis rektor UIN ke-11 itu.

Bagi orang beriman—tambahnya—juga mereka yang berpandangan positif-optimis, hidup adalah anugerah yang mesti disyukuri dan dirayakan. Kematian adalah wisuda untuk memasuki festival berikutnya yang lebih indah.

Lalu, apa yang sesungguhnya membuat kebanyakan orang cenderung menghindar dan perbincangan soal kematian? Kita menyangkal,atau setidaknya menghindar membicarakan soal kematian, karena kita takut padanya. Padahal perasaan takut seperti itu justru semakin berakar sehingga melampaui faktor-faktor lain. Perasaan yang mencegah kita untuk benar-benar “hadir di sini dan saat ini”. Karena pada saat kita hidup, kematian ada di masa depan. Sehingga,jika kita menghabiskan hari-hari kita dengan mencemaskan kematian, pada dasarnya kita hidup di masa depan. Dalam keadaan tersebut, maka kematian telah merampok kehidupan kita, sebelum kita benar-benar mati.

Live your life! Richard Branson pemilik Virgin Group—memberikan nasihat kepada putra-putrinya. Katanya: “Being present (hadirlah) dan live your life. Jangan pernah menyesali masa lalu dan jangan pula khawatir pada masa depanmu.”

Mari, dengan semangat dan optimisme, kita mengisi hari-hari dalam kehidupan kita dengan sesuatu karya yang bernilai dan bermakna.

Sumber: http://www.andriewongso.com