Hobi yang tidak pernah saya tinggalkan sejak kecil bahkan semakin menggila ketika semakin bertambah usia adalah membaca. Bukan sekadar membaca majalah atau buku, tapi membaca dalam konteks yang lain.

Saya suka sekali membaca perasaan orang lain terutama penulis yang bukunya saya baca, dengan mengambil posisi seperti dirinya ketika sedang menulis buku. Lalu membayangkan apa yang penulis itu pikirkan dan rasakan pada saat ia sedang merangkai kata-kata. Bagaimana teman-teman dekatnya, bagaimana kehidupannya? Apakah teman yang ada di dalam cerita itu teman yang benar-benar nyata atau sekadar teman khayalan? Dan ternyata membaca untuk proses seperti itu melatih empati lebih dalam lagi untuk saya.

Cara membaca seperti ini juga membuat saya memahami karakter orang lain, terutama penulis yang bukunya saya baca. Dalam jangkauan lebih luas lagi, ternyata mampu membuat saya memahami orang lain dengan lebih baik lagi.

Sebuah buku atau tulisan yang saya baca, pesan yang saya tangkap bukan hanya sekadar teks dengan makna pesan yang ingin disampaikan oleh penulisnya. Kebiasaan saya membaca dengan cara lain, membuat saya bisa menelusup ke dalam kata-kata dan mencari titik lain dari pribadi penulisnya yang akhirnya membuat saya paham banyak hal.

Diam-diam dari kegiatan membaca itu, saya tahu di titik mana penulis yang menulis cerita fiksi (khayalan) benar-benar menuliskan kisah hidupnya. Diam-diam juga saya menyadari bahwa sebuah tulisan ada bagian di mana tulisan dibuat setengah hati dan tulisan yang benar-benar dibuat dengan sepenuh hati. Sama-sama dengan hati, tapi setengah dan sepenuhnya, membuat jurang perbedaan yang cukup besar untuk saya.

Saya juga bisa menikmati bagian terperih dalam hidup penulisnya yang ditulis dalam sebuah tulisan, dan bagian gembira di mana penulisnya lepas menuliskan apa yang dirasakan meski hal itu diceritakan tentang tokoh yang ditulisnya.

Membaca dengan cara berbeda ini ternyata sangat menyenangkan karena seperti berkelana dari satu pribadi ke pribadi yang lain. Dan membaca seperti ini membuat saya semakin mengerti banyak hal ketika membuka group Penulis Tangguh di jejaring sosial Facebook sejak 2012; untuk memberi wadah yang tepat pada teman-teman yang ingin belajar menulis, namun bukan sekadar menulis.

Menulis untuk saya sendiri bukan sekadar merangkai kata. Untuk saya menulis adalah merangkai ilmu, merangkai wawasan, merangkai kenangan, dan menyatukan semuanya dalam bentuk tulisan. Tentunya menulis dengan cara seperti ini akan berbeda dengan menulis yang hanya menyatukan satu huruf dengan huruf yang lain, atau satu kata menjadi kalimat dan satu kalimat menjadi satu rangkaian cerita.

Tulisan yang dibangun dengan khayalan semata akan terlihat jelas. Tulisan yang dibuat dengan menganggap bahwa pembaca bisa dibodohi, adalah tulisan yang dibuat oleh penulis yang tidak paham bahwa dalam menulis, kekuatan ilmu sungguh harus digunakan.

Tulisan seorang yang baru menulis tapi ilmunya sudah cukup luas, meski ia masih tertatih merangkai kata, akan bisa dengan jelas dibedakan dengan tulisan seorang yang sudah bertahun-tahun menulis tapi ia tidak pernah mau memperdalam ilmunya.

Berinteraksi dengan banyak murid, berbagai karakter, bermacam tabiat, dan memiliki keinginan untuk belajar menulis justru mendatangkan pemahaman baru lagi. Sebagian besar murid-murid di Penulis Tangguh memiliki mimpi yang sama. Impian yang mereka kejar adalah ingin tulisan tembus media. Artinya, dimuat di media cetak. Selama 32 tahun menulis untuk media cetak, membuat saya paham bahwa itulah gengsi yang memang ingin didapatkan oleh semua penulis.

Semakin bertambah gengsi itu ketika di dunia perbukuan mulai dikenal dengan istilah buku indie di mana siapa saja yang ingin memiliki buku, bisa mencetak sendiri. Dijadikan kenangan-kenangan pribadi atau dijadikan kebanggaan.

Menulis untuk media berbeda rasanya dengan menulis untuk sebuah buku. Puluhan media memiliki karakter yang berbeda karena digawangi oleh editor yang berbeda. Juga, karena misi setiap media berbeda, akan membuat siapa pun yang ingin menembusnya harus belajar sungguh-sungguh untuk memelihara rasa penasaran dan ingin bisa mengena di hatinya. Rasa itu yang akan membuatnya bersemangat, hingga bisa terlahir sebuah tulisan yang sesuai dengan idealisme yang diusung oleh media yang ingin mereka tuju.

Banyak dari mimpi yang dipegang ternyata berseberangan dengan apa yang mereka lakukan. Banyak yang bermimpi tapi tidak mau kerja keras. Angan-angan dipegangnya terlalu panjang dan sering lupa bahwa angan-angan akan hanya menjadi angan-angan bila tidak ditindaklanjuti dengan kerja keras. Dan kerja keras itu bukan hanya sekali dua kali tapi berkali-kali secara terus menerus.

Membaca Peta Kompetisi

Selain membaca—yang sudah saya lakukan sejak dulu—ada hal lain yang juga sangat saya suka. Saya suka sekali berkompetisi. Kompetisi menghadirkan gairah lain di dalam aliran darah. Sebuah kompetisi itu seperti layaknya target titik untuk dipanah. Semakin fokus kita pada titik tertentu, semakin pandai kita akan mengasah anak panah kita dan cara memanah kita, hingga panah kita tepat pada sasaran alias meraih kemenangan.

Di SMP dulu, guru senang memilih anak-anak yang aktif dan punya nilai bagus. Guru bisa memilih anak-anak untuk diikutsertakan dalam rombongan sekolah ke Gelora Senayan pada hari besar.

Saya pernah juga terpilih ikut rombongan pengiring api PON. Mengiring para pelari yang membawa api PON dari satu titik ke titik lain. Hanya mengawal, tapi pengalaman berlari di malam hari, menunggu rombongan pelari untuk ikut berlari di belakangnya adalah sesuatu yang tidak bisa tergantikan.

Sesungguhnya kita sebagai manusia memang terlahir untuk menang. Kompetisi sudah melekat pada diri kita ketika belum terbentuk sebagai sebuah janin. Janin kita terbentuk dari ribuan sel dan hanya satu sel yang menang menembus indung telur menghadirkan satu sosok janin yaitu kita.

Dalam buku Dr Jekyl and Mr Hyde kompetisi juga terjadi. Kompetisi antara Dr Jekyl dan Mr Hyde. Sosok tubuh yang dihuni oleh dua kepribadian yang saling bertolak belakang. Dalam buku Sybil seorang gadis yang pecah kepribadiannya menjadi 16, kompetisi itu menjadi semakin menarik karena 16 pribadi itu hadir satu persatu, membuat percakapan, membuat persaingan yang membingungkan psikater yang mengatasinya.

Kompetisi dalam hidup tidak bisa kita hindarkan. Dalam tubuh kita ada sisi baik dan sisi buruk. Mana yang ingin kita menangkan, itu jadi pilihan kita. Bahkan ketika memilih sesuatu yang kita suka, juga ada kompetisinya. Apakah kita akan memilih sesuatu yang nikmatnya sesaat tapi tidak bermanfaat atau sesuatu yang tidak dipilih orang banyak tapi luar biasa manfaatnya untuk kita.

Membaca peta kompetisi dengan menyadari bahwa menjadi manusia unggul tidak bisa terjadi begitu saja, akan membuat kita paham bagaimana membuat hidup menjadi bergairah untuk meraih sebuah kemenangan.

Bergaul dengan orang-orang yang paham bagaimana menyuburkan kompetisi, menghargi kemenangan pesaingnya lalu menjadikannya lecutan untuk melangkah lebih maju lagi, akan menjadikan kompetisi suatu kenikmatan lain dalam hidup.

Hingga saat ini saya masih cinta membaca dan “membaca”. Sebab untuk saya manfaatnya bukan hanya sekadar terasa di otak tapi juga di hati.

Sumber: http://www.andriewongso.com