Semua makhluk hidup mengalami siklus dari lahir, tumbuh, dewasa, hingga mati.  Yang membedakan satu dengan yang lainnya adalah bagaimana mereka tumbuh. Ada yang sekadar tumbuh mengikuti hukum alam, ada yang tumbuh dengan ambisi, ada pula yang tumbuh dengan membawa kebaikan bagi makhluk lainnya.

Yang pasti, semua mengandung makna, apa pun kontribusi yang diberikan. Bahkan, sekadar rumput yang bergoyang pun menjadi “nadi” kehidupan bagi makhluk pemakan tumbuhan seperti kuda atau sapi. Dan, sebagai manusia, di sinilah esensi yang harus kita gali. Bagaimana kita tumbuh, dewasa, berkembang, hingga menjadi manusia seutuhnya sesuai dengan peran kita dalam kehidupan.

Kita pasti pernah melihat, mendengar, atau mungkin mempelajari banyak tokoh dunia yang karya-karyanya dipuji, atau sebaliknya juga dicaci. Bagaimana Napoleon Bonaparte memimpin Revolusi Prancis, Leonardo Da Vinci dengan karya-karya seni fenomenalnya, atau bahkan Hitler dengan kekejaman tentara Jermannya. Semua orang-orang itu sebenarnya sama-sama meninggalkan jejak yang tak kan lekang dimakan zaman. Namun, prestasi mereka bisa jadi sangat berkebalikan. Inilah yang seharusnya bisa kita “pilah dan pilih”, yakni akan seperti apa kita dikenang ratusan tahun mendatang.

Saya jadi teringat sebuah pepatah bijak yang saya jadikan judul tulisan kali ini. Dalam pengertian saya, peribahasa ini menunjukkan bahwa manusia punya potensi yang sangat luar biasa untuk berkembang sekaligus dikenang. Jika pohon ditanam, berbunga, dan dipetik buahnya barangkali “hanya” memberi manfaat sepanjang buah bertumbuh saja. Namun manusia, jika ia mampu memiliki karakter kuat, sikap yang bijak, kekayaan mentalitas, maka bisa jadi karya-karyanya akan mampu melintasi batas-batas zaman. Ini sejalan juga dengan pepatah bijak yang kita kenal sedari kecil, harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama.

Lantas, “nama” seperti apa yang akan kita tinggalkan kelak? Di sini, kita sendiri yang akan menentukan. Jika banyak perbuatan baik yang terus dilakukan, niscaya nama baik pun akan terukir dalam kehidupan. Bahkan, sekecil apa pun peran yang kita jalankan. Kisah kecil ini, barangkali bisa menjadi refleksi, ingin seperti apa kita dikenang.

Suatu kali, seorang anak menangis tersedu-sedu saat pulang dari sekolahnya. Melihat itu, dengan penuh kasih sayang, ibunya mendatangi si bocah. Saat ditanya, apa yang terjadi, si bocah hanya diam saja, sembari tetap mengucurkan air mata. Ia kemudian hanya menyerahkan selembar surat yang menurut gurunya harus diberikan segera pada ibunya.

Sembari masih bertanya-tanya apa yang terjadi, si ibu segera membuka surat itu. Ternyata, surat itu menjawab pertanyaannya. Konon, inilah isi surat itu, “Karena anak Anda terlampau bodoh dan tak mampu memahami pelajaran serta menghambat kemajuan proses pelajaran di sekolah, demi rasa tanggung jawab kami kepada murid-murid lain, maka kami sangat mengharapkan agar anak Anda secara terhormat menarik diri sendiri dari sekolah.” Rupanya, sebelum diberikan surat itu, si anak sudah diberi tahu oleh gurunya, agar esok hari tak perlu masuk sekolah lagi. Hal itulah yang membuatnya menangis.

Mendapati kondisi itu, sang ibu tak tinggal diam. Ia berupaya agar si anak bisa sekolah lagi. Namun, karena tetap tak diterima oleh sekolah itu, sang ibu yang juga seorang guru kemudian bertekad, “Kalau sekolah tak mau menerimamu lagi, jangan khawatir, Nak. Aku pun bisa menjadiguru yang baik untukmu.”

Sejak saat itu, si bocah diajari berbagai hal oleh ibunya. Hal itu membuat si bocah berkembang jadi anak yang punya keingintahuan sangat besar. Ia membedah hewan, bukan untuk menyiksa, tapi untuk mengetahui apa yang ada di dalam tubuh binatang itu. Di lain waktu, ia juga sering mengadakan berbagai eksperimen hingga akhirnya orangtuanya pun membuatkan laboratorium kecil di rumahnya.

Tumbuh dengan kasih sayang dari orangtuanya, si bocah jadi makin senang bereksperimen apa saja. Dan, karena orangtuanya tak punya cukup uang untuk membiayai kesenangan putranya, si bocah mencoba mandiri. Ia lantas berjualan koran dan permen untuk mencari uang tambahan guna membiayai penelitiannya.

Begitulah, si bocah kecil tumbuh jadi remaja yang sangat percaya diri. Meski berkali-kali gagal dalam eksperimennya, ia tetap terus mencoba dan mencoba lagi. Kasih sayang ibunya membuat ia jadi anak yang punya prinsip dan tak takut gagal. Bahkan, saat orang lain sudah menyerah saat berkali-kali kurang sukses dengan yang dilakukan, ia terus maju. Dengan pembelajaran dan kasih sayang itulah, si bocah kini dikenal sebagai salah satu ilmuwan yang mampu mengubah dunia. Dialah Thomas Alva Edison.

The Cup of Wisdom

Kisah tersebut adalah gambaran bahwa sang ibu berhasil “menanam” benih manusia tangguh pada diri Edison. Kalimat bijak pada judul, saya kira merupakan kiasan yang tepat untuk menggambarkan “kekuatan” manusia. Kini, semua tergantung pada kita sendiri, akan jadi manusia seperti apa kita saat dikenang kelak.

Mari, kita tanam benih-benih kebaikan. Landasi pula semua tindakan dengan kekayaan mentalitas dan kekuatan keyakinan! Maka peran apa pun yang kita jalani saat ini, akan bermakna bagi kehidupan ini.

Salam sukses luar biasa!

Sumber: http://www.andriewongso.com