Dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang berpotensi menurunkan daya beli masyarakat dinilai tidak akan menganggu proyeksi seluruh lini industri penyedia kebutuhan pokok, khususnya farmasi.

Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal mengatakan sensitivitas permintaan pasar terhadap industri farmasi kecil lantaran konsumen tidak memiliki opsi lain untuk mencari alternatif produk terkait dengan obat-obatan.

"Kalau sakit, mau tidak mau orang akan tetap membeli obat-obatan. Jadi, sensitivitas permintaan pasar terhadap harga produk kecil," kata Faisal kepada Bisnis, Senin (5/9/2022).

Dikutip dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes), pengeluaran per kapita per bulan orang Indonesia untuk keperluan obat-obatan di kisaran Rp800.000.

Jumlah tersebut di kisaran 50 persen dari total pengeluaran per kapita bulanan orang Indonesia untuk seluruh kebutuhan dengan nilai sekitar US$112 atau setara dengan Rp1,6 juta.

Dengan demikian, proyeksi Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin agar industri farmasi Tanah Air meraup pendapatan tahunan senilai US$32 miliar masih realistis untuk dicapai meskipun terjadi kenaikan harga BBM.

Hal tersebut sejalan dengan pandangan kalangan pengusaha mengenai perbedaan daya tahan tiap-tiap di industri di sektor manufaktur menangkal dampak negatif kenaikan harga BBM.

Menurut Shinta, kenaikan harga BBM yang berpotensi disusul oleh pelemahan daya beli masyarakat tidak serta merta berdampak sama bagi perusahaan-perusahaan di industri manufaktur.

Shinta menilai, industri dengan margin keuntungan cukup besar masih memungkinkan pelaku usaha di dalamnya untuk mentransmisikan beban inflasi terhadap harga jual di pasar.

Namun, bagi industri yang margin profitnya, maka harus mulai memikirkan strategi untuk mengalihkan beban inflasi kepada pasar tanpa memberikan tekanan berlebih terhadap penjualan," ujarnya.

Beda Nasib
Berbeda dari sektor farmasi, dampak kenaikan harga BBM diprediksi berdampak cukup signifikan bagi pelaku usaha di industri makanan dan minuman (mamin).

Bahkan, antisipasi pemerintah melalui Bantuan Langsung Tunai (BLT) disebut-sebut tidak akan memberi efek siginifikan bagi industri mamin.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan efek BLT bagi industri mamin relatif kecil karena implementasinya tidak menjangkau masyarakat kelas menengah sebagai salah satu kelompok dengan pengeluaran terbesar.

"Efek BLT relatif kecil dibandingkan dengan dampak yang ditimbulkan dari kenaikan BBM. BLT ditujukan kepada masyarakat kelas bawah, sedangkan masyarakat kelas menengah berkontribusi lebih besar," ujar Bhima.

Menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang diolah, sampai dengan Maret 2022 distribusi pengeluaran 40 persen penduduk yang tergolong sebagai masyarakat kelas menengah adalah 35,47 persen dari total populasi nasional.

Jumlah tersebut jauh di atas 40 persen penduduk kelas bawah dengan persentase distribusi pengeluaran sebesar 18,06 persen dibandingkan dengan total populasi nasional sampai dengan Maret tahun ini.

Kondisi ini berpotensi menyetop tren pengeluaran per kapita/bulan masyarakat Indonesia untuk keperluan makanan dan minuman yang tercatat konsisten mengalami kenaikan dalam kurun 5 tahun terakhir.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pengeluaran per kapita/bulan nasional untuk pembelian produk makanan dan minuman di Indonesia pada 2021 naik 15,24 persen dari 2017.

Total, pengeluaran per kapita/bulan nasional untuk pembelian produk makanan dan minuman pada 2021 senilai Rp622.845, sedangkan pada 2017 pengeluaran per kapita/bulan untuk keperluan yang sama senilai Rp527.956.

Sumber: https://ekonomi.bisnis.com