Gabungan Industri Pengerjaan Logam dan Mesin Indonesia (GAMMA) menyebutkan target kontribusi manufaktur di level 20,8% bukan tidak mungkin, meskipun kemungkinannya kecil untuk dapat dicapai akhir tahun ini.
Ketua Umum GAMMA, Dadang Asikin mengatakan bahwa dengan kondisi global yang masih penuh tantangan ketidakpastian global yang dipicu perlambatan ekonomi dunia, ketegangan geopolitik, hingga pelemahan permintaan ekspor, maka untuk mencapai angka 20,8% dalam sisa waktu tahun 2025 ini menjadi tantangan yang cukup berat.
“Kami melihat [industri pengerjaan logam dan mesin Indonesia] memiliki potensi mendorong kenaikan meski secara realistis capaian di atas 20% membutuhkan strategi jangka menengah, bukan sekadar dalam hitungan bulan di sisa akhir tahun 2025,” ujar Dadang kepada Bisnis, dikutip Minggu (5/10/2025).
Apalagi, dalam satu dekade terakhir, kontribusi manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mengalami stagnasi di kisaran 18%—19%.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sektor manufaktur tercatat sebagai penggerak utama ekonomi kuartal II/2025 dengan kontribusinya ke PDB mencapai 18,67%.
Kendati naik dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2022, 2023, dan 2024, kontribusi sektor manufaktur masih terjebak di angka 18%. Masih jauh dibandingkan dengan kuartal II/2021 yang mencapai 19,29% atau masa sebelum pandemi pada kuartal II/2018 dan 2019 yang masing-masing sebanyak 19,8% dan 19,52%.
Tak hanya itu, kontribusi manufaktur periode baru ini masih cenderung stagnan, bergeming jika dibandingkan dengan se-dekade lalu atau kuartal II/2015 yang mampu tembus ke angka 20,91% secara tahunan (year-on-year/YoY).
“Kami akui, dukungan pemerintah selama ini terhadap industri manufaktur memang ada, tetapi dirasakan belum sepenuhnya efektif untuk mendorong kontribusi manufaktur ke PDB hingga di atas 20%,” tuturnya.
Adapun, Presiden Prabowo Subianto menargetkan sektor industri pengolahan pada 2025 tumbuh 5,5% dengan kontribusi terhadap PDB mencapai 20,8% pada 2025. Angka tersebut naik dibandingkan dengan baseline 2024 yang sebesar 18,98%.
Target tersebut tertuang dalam lampiran Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 79 Tahun 2025 tentang Pemutakhiran Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2025.
“Untuk menopang target tersebut, kami berpendapat ada beberapa hal yang mendesak bagi industri mesin dan logam,” tuturnya.
Pertama, kepastian pasar dalam negeri. Dia menyebut industri pengerjaan logam dan mesin merupakan sektor yang berorientasi pada substitusi impor dan peningkatan nilai tambah bahan baku lokal.
Untuk menjamin pasar domestik, maka program substitusi impor harus diikuti dengan keberpihakan nyata terhadap produk dalam negeri melalui pengadaan pemerintah dan BUMN terlebih program atau proyek yang menggunakan belanja APBN dan juga termasuk komitmen pada aturan TKDN.
Dadang pun menyebutkan beberapa catatan yang sering dirasakan pelaku usaha seperti implementasi TKDN yang lemah. Sebab, di lapangan masih banyak proyek pemerintah dan BUMN yang lebih memilih produk impor dengan alasan harga atau kecepatan pasok.
“Akibatnya industri dalam negeri, termasuk mesin dan logam, kurang mendapatkan pasar yang seharusnya,” jelasnya.
Kedua, kebutuhan akses pembiayaan dan insentif fiskal. Dalam hal ini, industri mesin dan logam membutuhkan pembiayaan dengan bunga kompetitif serta insentif investasi (tax holiday, super deduction) agar mampu memperkuat kapasitas produksi.
Selama ini, akses pembiayaan sulit dan mahal sehingga industri padat modal seperti mesin dan logam sering kesulitan mendapatkan pembiayaan jangka panjang dengan bunga yang terjangkau. Skema kredit investasi yang ramah industri bagi pelaku industri masih terbatas.
“Langkah Kementerian Keuangan dengan memindahkan cadangan dana Pemerintah dari BI ke Bank Himbara sebesar Rp200 triliun harus dibarengi dengan semangat mempermudah akses pembiayaan oleh pihak perbankan dengan bunga yang kompetitif bisa di manfaatkan oleh pelaku usaha untuk mendukung kegiatan investasi dan biaya operasional,” kata Dadang.
Ketiga, jaminan ketersediaan energi dan bahan baku. Dia menilai harga energi yang terjangkau dan pasokan bahan baku yang stabil akan sangat menentukan daya saing industri manufaktur dan logam dan mesin.
Kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT)
Namun, saat ini harga energi industri masih tinggi. Kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) yang berlaku cukup membantu, tetapi belum menjangkau semua sektor manufaktur. Sementara itu, listrik industri juga relatif mahal dibanding negara pesaing yang membuat biaya produksi tidak kompetitif.
Keempat, kebijakan industrial yang konsisten. Setiap industri membutuhkan kepastian regulasi jangka panjang agar berani melakukan ekspansi dan investasi baru. Sebab, regulasi dan perizinan masih sering berubah dan tumpang tindih antara pusat dan daerah yang mempunyai otonomi kewilayahan.
Pelaku usaha membutuhkan kepastian jangka panjang, tetapi masih sering terjadi perubahan aturan, baik di bidang fiskal, impor, tata ruang dan perizinan maupun ketenagakerjaan. Hal ini membuat dunia usaha ragu melakukan ekspansi besar.
Kelima, kebutuhan dukungan riset, teknologi, dan SDM. Menurut dia, program vokasi dan adopsi teknologi industri 4.0 memang telah berjalan, tetapi skalanya kecil dan belum menyentuh mayoritas industri, terutama sektor mesin dan logam yang justru sangat strategis.
Sumber: https://ekonomi.bisnis.com