Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan peforma kinerja industri manufaktur bergerak positif pada kuartal kedua tahun ini, khususnya dalam sumbangsihnya terhadap neraca perdagangan.
Sektor industri manufaktur berkontribusi 78,8 persen terhadap ekspor atau mencapai US$18 miliar dari total ekspor nasional sebesar US$102 miliar pada Januari hingga Juni 2021.
“Kontribusi sebesar itulah pemicu lahirnya surplus neraca perdagangan Indonesia sebesar US$8,22 miliar. Hemat saya, prestai ini sangat membanggakan karena diraih di tengah-tengah kondisi sulit, pandemi Covid-19 gelombang kedua,” kata Agus melalui keterangan tertulis, Rabu (28/7/2021).
Agus menambahkan kinerja industri pengolahan nonmigas masih mengalami kontrasksi sebesar 0,71 persen pada triwulan pertama tahun ini. Kendati demikian, perlambatannya masih lebih baik jika dibandingkang dengan angka pertumbuhan ekonomi nasional yang terkontraksi hingga 0,74 persen.
“Saya punya keyakinan tinggi di semester II/2021, industri manufaktur sudah bisa masuk ke teritori positif, meski pada pertengahan Juni kita kembali mengalami turbulensi ekonomi akibat pandemi varian delta, dengan wave yang sangat luar biasa,” kata dia.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Aneka Kramik Indonesia (ASAKI) Edy Suyanto mengapresasi kebijakan insentif Pajak Pertambahan Nilai (PPn) atas pembelian rumah tapak dan rumah susun. Menurut dia, kebijakan tersebut berdampak langsung bagi industri keramik tanah air karena ASAKI merupakan mitra stategis industri properti.
“Dampak penghapusan PPN seperti disampaikan pak mentri yang memberikan dampak pertumbuhan sebesar 15 sampai dengan 20 persen terhadap sektor properti ini secara langsung berdampak positif pada para member ASAKI,” kata dia.
Industri Keramik tanah air, sambungnya, selalu masuk top 5 besar produsen keramik dunia sampai tahun 2014, namun saat ini berada di posisi ke-7. Hal ini menyusul adanya kenaikan harga gas yang mencapai 50 persen di tahun 2014, otomatis daya saing dan utilisasi. Faktor lain, adalah banjirnya produk keramik impor dari China dan India.
“Gas merupakan komponen biaya produksi yang mencapai 30 persen. Ini yang menyebabkan stagnan selama 5 tahun belakangan. ASAKI berterima kasih kepada Kemenperin atas upaya menururkan harga gas dari USD 17 menjadi USD 6 per MMBTU. Dengan penurunan harga gas ini, industri keramik nasional mulai rebound,” tuturnya.
Adapun, Asosiasi Asosiasi Produsen Cat Indonesia (APCI) mengakui industri cat dalam negeri saat ini masih mampu men-supply hampir semua kebutuhan sektor properti, infrastuktur, migas, marine, dan industri lainnya. Bahkan, sejumlah merek cat lokal telah mampu menembus pasar ekspor.
“Dari data T Abel I-O 2016 yang berhasil kami olah, terdapat 185 subsektor industri yang butuh cat, tinta cetak, dan vernis. Sayangnya, untuk bahan baku lak sebesar 18,43 persen masih impor,” tutur Ketua Umum APCI Kris Rianto Adidarma.
Sumber: https://ekonomi.bisnis.com