S&P Global Market Intelligence menilai, peningkatan Indeks Manajer Pembelian atau Purchasing Manager’s Index (PMI) Indonesia yang tercatat 49,6 pada November 2024 mencerminkan adanya ekspansi produksi untuk pertama kalinya dalam lima bulan terakhir.
Pertumbuhan ini terjadi meskipun pesanan baru mengalami penurunan serta perusahaan mencatat permintaan barang yang masih lemah.
"Data survei bulan November menunjukkan hasil yang beragam saat menilai kesehatan sektor manufaktur Indonesia. Di satu sisi, peningkatan output menjadi kabar baik, karena perusahaan meningkatkan produksi untuk membangun inventaris dan menyelesaikan pekerjaan sebelum terjadi peningkatan penjualan dan permintaan pada tahun depan,” kata Economics Director S&P Global Market Inttigence Paul Smith dalam keterangannya, di Jakarta, Senin.
Meskipun demikian, kenaikan indeks menjadi 49,6 pada bulan November, dari 49,2 pada Oktober, mengindikasikan kondisi operasional yang sedikit melambat pada periode penurunan saat ini.
Panelis terus melaporkan aktivitas pasar yang sepi ditandai dengan daya beli klien yang lemah. Pesanan ekspor baru juga menurun selama sembilan bulan berturut-turut dengan tingkat kontraksi yang lebih tajam.
"Namun, yang kurang menggembirakan adalah kinerja penjualan yang terus lemah, turun selama lima bulan berturut-turut pada bulan November. Hal ini membuat perusahaan tetap berhati-hati dalam mempertimbangkan jumlah tenaga kerja, memilih untuk tidak mengganti karyawan yang keluar atau dalam beberapa kasus, melakukan PHK,” ujarnya.
Menurut Paul, dengan output meningkat namun pesanan baru turun, produksi berlebih dimanfaatkan untuk menyelesaikan pekerjaan yang belum terselesaikan dan membangun inventaris gudang.
Stok barang di gudang meningkat lebih cepat, dengan pertumbuhan tingkat sedang membantu perusahaan bersiap menghadapi kebutuhan produksi yang lebih tinggi pada bulan-bulan mendatang.
Kemudian, Paul menyampaikan kepercayaan terhadap prospek memang menguat, mencapai level tertinggi sejak bulan Februari 2024. Perusahaan optimistis bahwa permintaan dan penjualan akan meningkat dalam setahun ke depan, yang diharapkan mendukung produksi.
"Permintaan adalah kunci bagi kinerja sektor pada masa depan. Tanpa adanya peningkatan penjualan, yang masih jauh dari kepastian meskipun perusahaan optimis, performa sektor ini kemungkinan akan tetap tertekan dalam waktu mendatang," kata Paul lagi.
Lebih lanjut, aktivitas pembelian juga meningkat selama bulan November, naik untuk pertama kali dalam lima bulan. Tingkat pertumbuhan yang kuat menunjukkan upaya perusahaan untuk mendukung kenaikan output dan membangun stok input sesuai proyeksi positif pertumbuhan.
Perusahaan juga melaporkan bahwa pengiriman input sedikit lebih cepat selama bulan Oktober. Namun, ada catatan negatif yaitu penurunan volume tenaga kerja selama dua bulan berturut-turut.
Meskipun sedang, tingkat kontraksi merupakan yang paling tajam dalam waktu lebih dari tiga tahun. Bahkan, perusahaan melaporkan tidak menggantikan karyawan yang keluar, dan dalam beberapa kasus, terjadi PHK.
Terakhir, Paul menilai inflasi harga input naik tipis pada bulan November, meski tetap di bawah rata-rata survei. Ketika harga meningkat, hal ini dikaitkan dengan kenaikan umum harga bahan baku dengan bahan pangan menjadi salah satu penyumbang utama.
"Faktor nilai tukar juga berperan meningkatkan harga barang impor. Perusahaan berupaya meneruskan kenaikan biaya input kepada klien dengan menaikkan harga output dari pabrik. Namun, tingkat inflasi secara keseluruhan masih pada tingkat sedang," katanya pula.
Adapun Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan PMI manufaktur yang tetap terkontraksi di angka 49,6 poin pada bulan November, masih disebabkan oleh masifnya produk impor yang masuk ke pasar domestik.
"Kami tidak heran dengan kondisi indeks PMI manufaktur yang cenderung mandek di bawah 50 di saat sebagian besar negara-negara ASEAN lainnya memiliki indeks PMI manufaktur di atas 50 atau ekspansif," kata Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni Arif.
Ia mengatakan, pasar domestik dibanjiri produk impor yang menyebabkan tekanan terhadap permintaan atas produk dari industri dalam negeri. Selain itu, hal tersebut juga dipengaruhi oleh pemberlakuan kebijakan relaksasi impor yang memberikan konsekuensi pada masuknya barang dari luar negeri secara masif.
Sumber: https://www.antaranews.com