Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat nilai tambah manufaktur atau manufacturing value added (MVA) mencapai US$255 miliar atau setara dengan Rp4.119 triliun pada 2023.

Nilai tambah sektor manufaktur di Tanah Air itu meningkat hingga 36,4% secara tahunan. Pasalnya, pada tahun sebelumnya MVA Indonesia tercatat sebesar US$187 miliar.

Capaian tersebut juga lebih tinggi dibandingkan dengan negara rekanan seperti China, Amerika Serikat, Jerman, Jepang, India, Korea Selatan, Meksiko, Italia, Perancis, Brazil, dan Inggris. Bahkan, posisi Indonesia jauh di atas Thailand.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan peningkatan nilai tambah tersebut juga membuat peringkat Indonesia sebagai Top Manufacturing Countries naik dari peringkat ke-14 dunia pada 2022 menjadi posisi ke-12 pada 2023.

"Untuk itu, industri manufaktur harus terus memperkuat daya saingnya dengan semangat Making Indonesia 4.0," kata Agus di agenda Tech Link Summit, Kamis (18/7/2024).

Lewat program tersebut, industri dalam negeri harus mampu melakukan lompatan inovasi teknologi dalam rangkaian proses bisnisnya dengan tujuan untuk meningkatkan nilai tambah, serta mengefisiensikan biaya produksi.

Dalam hal ini, Kemenperin mendorong perusahaan industri untuk berkolaborasi dengan usaha rintisan atau startup dalam negeri guna menerapkan teknologi manufaktur canggih seperti AI demi peningkatan produktivitas, keberlanjutan dan ketahanan rantai pasok atau supply chain industrinya.

Apalagi, Agus mengatakan hingga 11 Januari 2024 jumlah startup Indonesia mencapai 2.566 perusahaan atau menempati peringkat 6 terbesar dunia berdasarkan laporan Startup Ranking.

Jumlah usaha rintisan di Tanah Air itu hanya berada di bawah Amerika Serikat (78.073), India (16.302), Inggris (7.079), Kanada (3.876), dan Australia (2.793). Indonesia justru berada di atas Jerman (2.445), Prancis (1.650), Spanyol (1.492), dan Brasil (1.185).

"Turut berkontribusi menghasilkan nilai ekonomi digital Indonesia yang mencapai US$82 miliar pada 2023, atau setara Rp1.266 triliun, dan diperkirakan akan mencapai US$109 miliar pada 2025," terangnya.

Agus menuturkan, potensi tersebut harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Kerja sama dengan tech startup merupakan strategi quick wins bagi industri, terutama untuk mengakselerasi implementasi inovasi teknologi sesuai tuntutan pasar.

"Kolaborasi yang baik antara tech startup, industri, akademisi, dan pemerintah tentunya akan mempercepat adopsi teknologi terbaru di bidang manufaktur yang pada gilirannya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara signifikan," jelasnya.

Hal ini sejalan dengan upaya Kementerian Perindustrian untuk mempertemukan industri dengan berbagai inovasi teknologi melalui ‘Startup4industry’ sebagai penyedia teknologi yang mengedepankan penerapan industri hijau dan mendukung keberlanjutan industri.

Sumber: https://ekonomi.bisnis.com