Program substitusi impor yang ditargetkan mencapai 35 persen pada 2022 harus sejalan dengan daya dukung yang sinergi antarlembaga dan kementerian.

Ahmad Heri Firdaus, Peneliti di Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Indef, mengatakan bahwa peningkatan daya saing industri perlu diiringi dengan dukungan yang sinergis.

“Substitusi itu kan yang tadinya impor lalu kita bisa menghasilkan sendiri di dalam negeri, tetapi perlu yang namanya daya dukung. Untuk berdaya saing harus didahului dengan daya dukung,” ujar Ahmad dalam sebuah webinar, Kamis (16/9/2021).

Hal pertama untuk mencapai target substitusi impor, kata dia, adalah mengerek utilisasi industri ke level 80 persen ke atas. Pasalnya, penahanan impor di saat kapasitas produksi belum membaik akan menimbulkan kelangkaan bahan baku.

Ahmad menyebut, sejumlah faktor pertumbuhan yang dapat memacu kinerja industri, yakni bahan baku, infrastruktur, logistik, hingga kebijakan fiskal.

Menurutnya, faktor-faktor pertumbuhan tersebut tidak seluruhnya berada dalam kewenangan Kementerian Perindustrian, sehingga diperlukan sinergi dengan kementerian lain.

“Kalau semuanya sudah saling mendukung dan sinergi, baru kita bisa optimistis daya saing kita bisa lebih bagus lagi,” imbuhnya.

Sebelumnya, industri agro mencatatkan pertumbuhan 2,26 persen sampai pada kuartal II/2021. Sektor makanan minuman menyumbang 38,42 persen, diikuti oleh pengolahan tembakau 2,35 persen, kertas dan barang dari kertas 3,86 persen, produk kayu 2,54 persen, serta furnitur 1,34 persen.

Sementara itu, kontribusi agro pada pertumbuhan industri pengolahan nonmigas atau manufaktur, yakni 50,59 persen. Adapun, kinerja ekspor agro pada kuartal II/2021 mencapai US$19,64 miliar atau 28,24 persen terhadap total ekspor nasional.

Sumber: https://ekonomi.bisnis.com