Penguatan kerja sama antara Indonesia dan China di sektor energi dapat menjadikan RI sebagai hub manufaktur energi terbarukan. Koordinator Proyek Transisi Energi Asia Tenggara Institute for Essential Services Reform (IESR) Agung Marsallindo mengatakan, Indonesia memiliki sumber daya yang memadai untuk memproduksi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), disokong dengan biaya produksi yang rendah. Di samping itu, investasi hijau dari "Negeri Panda" akan menyasar proyek energi terbarukan yang layak secara finansial seperti tenaga surya dan angin.

Di satu sisi, penguatan kerja sama antara China dan Indonesia juga dapat mendukung dekarbonisasi industri di Indonesia. Agung menuturkan, dukungan China terhadap transisi energi di Indonesia dapat berupa kolaborasi teknologi dan manufaktur serta investasi.

Dia menambahkan, kolaborasi antara kedua negara juga dapat memastikan kerangka pembiayaan proyek hijau yang layak dinadani oleh bank alias bankable dan jangka panjang. "Memperkuat peluang kerja sama Indonesia dan China dalam sektor energi terbarukan sangat diperlukan dalam mengedepankan pembangunan hijau dan berkelanjutan," kata Agung dalam media briefing bertajuk Potensi Kolaborasi Indonesia-China dalam Pembangunan Ekonomi Hijau dan Kerja Sama Energi Bersih, Selasa (24/9/2024) sebagaimana dikutip dari siaran pers.

Manajer Program Diplomasi Iklim dan Energi IESR Arief Rosadi mengatakan, peluang untuk meningkatkan investasi energi terbarukan China di Indonesia terbuka lebar. Di sisi lain, Indonesia juga berkomitmen untuk mencapai nol emisi atau net zero emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat, sehingga dapat memperkuat potensi kerja sama ini. Kajian IESR menemukan secara teknis dan ekonomis, Indonesia bisa mempercepat pencapaian NZE pada 2050 dengan dekarbonisasi sektor energi. "Indonesia dapat lebih memperkuat kerja sama dengan China, misalnya dalam kerangka BRI (Belt and Road Initiative), untuk mengeksplorasi mekanisme inovatif dan struktur pembiayaan untuk meningkatkan proyek energi terbarukan di Indonesia," ungkap Arief.

Arief menambahkan berdasarkan kajian IESR, Indonesia memerlukan investasi sebesar 1,3 triliun dollar AS untuk mencapai NZE pada 2050, yang akan dialokasikan ke berbagai teknologi energi terbarukan. Dukungan investasi yang signifikan ini mensyaratkan kolaborasi internasional yang kuat, termasuk dengan China. Fungsional Diplomat Ahli Madya Kementerian Luar Negeri Dino R Kusnadi menyebut dalam BRI, China menjadikan Indonesia sebagai negara prioritas untuk bekerja sama. Menurutnya, sebagai negara yang menganut asas bebas aktif dalam kerja sama internasional, Indonesia mempunyai keleluasaan untuk memilih mitra selama memberikan nilai tambah secara teknologi, infrastruktur, hingga perekonomian.

Sumber: https://lestari.kompas.com