Kementerian Perindustrian menyampaikan bahwa digitalisasi merupakan kunci bagi industri makanan dan minuman (mamin) dapat menerapkan prinsip keberlanjutan yang sejalan dengan cita-cita penerapan industri 4.0.

"Sustainability, transparency, dan convenience merupakan tantangan yang saat ini dihadapi oleh industri mamin, selain kepatuhan terhadap standar yang berlaku, seperti SNI, sertifikat halal, maupun standar lainnya yang ditetapkan oleh BPOM," ungkap Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Putu Juli Ardika lewat keterangannya di Jakarta, Sabtu.

Di industri makanan dan minuman konsumen dinilai tidak hanya menginginkan produk yang sehat, tetapi juga menaruh perhatian pada keberlanjutan maupun transparansi dari suatu produk.

Dengan transformasi digital, perusahaan industri akan mampu memprediksi perilaku konsumen, sehingga mendukung daya saing produk-produk yang dihasilkan.

Menurut Putu, industri mamin dapat memenuhi kriteria sustainability melalui penggunaan kemasan yang ramah lingkungan dan sumber bahan baku yang berkelanjutan.

Bentuk lain dari upaya ini adalah dengan pendirian industri daur ulang kemasan oleh produsen mamin. Putu mengatakan, hal ini merupakan inisiatif yang patut diapresiasi.

Selanjutnya, transparansi perlu terus ditingkatkan oleh para pelaku industri, misalnya mengenai bahan baku, takaran, maupun proses produksi. Transparansi dapat diwujudkan melalui penyampaian informasi tersebut secara detail. Hal ini bisa didukung oleh platform digital.

"Sedangkan untuk kenyamanan atau convenience bagi konsumen, produsen mamin dapat memberikan berbagai pilihan dalam mendapatkan produk-produk sesuai keinginan, seperti pilihan on-the-go, pengemasan sekali pakai, pilihan pemesanan dan pengiriman online," jelas Putu.

Tren lain yang perlu diikuti oleh industri mamin adalah kebutuhan konsumen akan personalisasi produk. Konsumen kini menginginkan produk yang bisa dikustomisasi, unik, dan cocok dengan kepribadian masing-masing.

Dalam hal ini, penerapan teknologi digital memungkinkan produsen untuk memprediksi perilaku konsumen.

Hal ini dilakukan dengan mengumpulkan dan menganalisis sejumlah besar data dari berbagai sumber, seperti pembelian online, media sosial, dan mesin pencari.

"Alat analitik canggih dan mesin algoritma yang mempelajari perilaku dapat digunakan untuk mengidentifikasi pola dan tren dalam data ini, sehingga memberikan wawasan berharga tentang preferensi konsumen dan kebiasaan belanja," kata Putu.

Salah satu contoh yang relevan adalah bagaimana data dari pembelian makanan dan minuman secara online, baik dari layanan pesan antar melalui aplikasi transportasi daring, lokapasar (online marketplace), dan media sosial dapat dikumpulkan menjadi big data dan dianalisis lebih lanjut sehingga dapat memprediksi perilaku konsumen dan mengidentifikasi tren konsumen.

Namun begitu, perusahaan industri mamin juga masih mengalami kendala dalam menghasilkan produk personal. Salah satunya seperti yang disampaikan oleh Head of Manufacturing PT Greenfields Indonesia Darmanto Setyawan.

Ia menyatakan personalisasi produk menjadi tantangan sendiri bagi produsen. Apabila perusahaan tersebut menyediakan produk-produk yang melayani berbagai kelompok umur, sedangkan kebutuhan gizi seseorang akan berbeda-beda di setiap tahapan kehidupan, hal ini dapat menyebabkan stock keeping unit (SKU) perusahaan meningkat secara eksponensial.

"Mengelola peningkatan SKU terkait dengan bahan persediaan, formulasi, perencanaan produksi dan penjadwalan serta efisiensi karena kerugian material dan perubahan dari waktu ke waktu itu sangat kompleks. Dampaknya, adalah perlu kontrol lebih dari validasi bahan baku, kontrol proses dalam produksi dan perlunya transparansi yang lebih besar, termasuk traceability," ungkap Darmanto.

Walau demikian, langkah-langkah digitalisasi industri mamin terus ditempuh untuk menuju terwujudnya personalisasi produk. Greenfields sudah mulai menerapkan digitalisasi dalam proses produksinya, misalnya melalui penggunaan sistem manajemen mutu untuk menentukan kandungan lemak dari susu mentah.

Hal itu membantu perusahaan memutuskan produk mana yang akan diproduksi dari sudut pandang perencanaan dan penjadwalan produksi.

"Dengan kolaborasi perencanaan quality control dan proses produksi, informasi yang didapatkan secara digital ini juga membantu dalam mempersingkat waktu pelepasan produk ke pasar," lanjutnya.

Selain itu, solusi digital juga membantu meningkatkan efisiensi dalam produksi. Misalnya, untuk mengontrol kedaluwarsa bahan dan dokumentasi seperti standar dan sertifikat halal.

"Digitalisasi juga membantu dalam pengelolaan dan otomasi jadwal pengujian dan pemantauan dalam proses. Hal ini dilakukan melalui pengambilan sampel dan pencatatan semua tes untuk setiap batch bahan baku, bahan dalam proses/setengah jadi, maupun produk akhir," jelas Darmanto.

Sumber: https://www.antaranews.com