Seorang guru muda pulang dari memotong kayu di gunung. Di perjalanan, ia berjumpa seorang pemuda yang baru saja menangkap seekor kupu-kupu di genggamannya.
Pemuda ini dengan jemawa menantang sang guru, “Bagaimana kalau kita bertaruh?”
“Bagaimana taruhannya?” tanya sang guru.
“Coba tebak kupu-kupu dalam genggamanku ini, hidup atau mati? Kalau Anda kalah, sepikul kayu itu jadi milik saya!” Demikian kata si pemuda, lantang.
Sang guru mengangguk setuju. Lalu katanya menebak, “Kupu-kupu dalam genggamanmu itu mati.”
Pemuda itu tertawa puas, “Guru… Anda salah.” Sambil membuka genggamannya, kupu-kupu itu pun terbang lepas ke alam bebas.
Sang guru berkata, “Baiklah, kayu ini milikmu.” Setelah itu, ia pergi dengan gembira.
Seorang pria yang tidak lulus ujian masuk universitas, dinikahkan orang tuanya. Untuk mendapat penghasilan, ia pun melamar menjadi guru sekolah dasar dan mulai mengajar.
Karena tidak punya pengetahuan mengajar, belum sampai satu minggu mengajar ia sudah dikeluarkan.
Setibanya di rumah, sang istri menghapuskan air matanya, menghiburnya dengan berkata: “Banyak ilmu dalam otak, ada orang yang bisa menuangkannya, ada pula yang tidak bisa. Tidak perlu bersedih karena hal ini. Mungkin ada pekerjaan lain yang lebih cocok sedang menantimu.”
Kemudian ia melamar dan melakukan pekerjaan lain, namun sayangnya ia dipecat juga karena geraknya lambat.
Saat itu sang istri berkata: “Kegesitan kaki dan tangan setiap orang berbeda, orang lain sudah bekerja beberapa tahun lamanya, kamu hanya belajar di sekolah, bagaimana bisa cepat?”
Pada tahun 1939, George Dantzig adalah mahasiswa sebuah universitas di AS. Pada suatu hari, ia datang terlambat pada mata kuliah matematika Prof. Jerzy Neyman. Ketika masuk kelas, ternyata dosen dan teman-teman kuliahnya sudah pulang.
George kemudian melihat 2 buah soal pada papan tulis kelas. Pikirnya, itu pasti PR yang baru diberikan oleh sang profesor! Dia pun segera mencatat pada bukunya dan pulang.
Berhari-hari dia mencoba untuk menyelesaikan PR tersebut, berbagai cara ia coba. “Tidak biasanya dosen memberi tugas demikian sulitnya, tapi pasti ada jawabannya… pasti ada…,” gumamnya.
Pada akhirnya, ia berhasil mengerjakan soal no.1. Keesokan harinya ia pun mengumpulkan tugas tersebut, yang diletakkan di ruang kerja profesornya.
Siang hari, ia dicari oleh sang profesor yang bertanya keheranan, sekaligus penuh semangat, “Bagaimana kamu bisa menyelesaikan soal tersebut?”
Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk menjadikan hidup lebih baik dan memaksimalkan hasil seperti yang diinginkan. Apa saja?
Berikut enam hal yang menurut Stephen Covey, penulis buku megabestseller 7 Habits of Highly Effective People, yang akan membuat hidup kita lebih baik dan lebih terarah.
(1) Jadilah lebih proaktif. Yang dimaksud di sini bukan sekadar mengambil inisiatif untuk hal yang menjadi tanggung jawab kita. Namun, kita benar-benar harus bisa memberdayakan diri sendiri dan sekitar kita. Sehingga, apapun yang kita lakukan untu pekerjaan/profesi kita, akan jauh lebih bermanfaat bagi diri sendiri dan lingkungan sekitar. Kadang, kita meremehkan profesi kita. Padahal, setiap profesi sebenarnya pasti punya manfaatnya tersendiri. Pekerjaan/peran kita adalah satu bagian, yang menjadi “pelengkap” satu sama lain. Misalnya, seorang sopir akan jadi “kekuatan” bagi “bos” yang disopirinya, saat ia mampu mengemudi dengan profesional dan selalu mengantarkan sang bos ke tempat yang dituju dengan selamat dan tepat waktu. Tanpa disadari, perannya ini akan menjadikan banyak deal-deal besar bisa termaksimalkan.
Suatu hari, tampak seorang pemuda mendatangi guru bijak. Penampilannya lusuh. Bajunya compang-camping, sepatunya sobek, dan tubuhnya penuh luka.
Dia berkata, “Guru, saya datang dari jauh dan telah menempuh perjalanan yang berat. Saya menderita, kesepian dan sangat letih. Ini semua saya lakukan demi mencari jawaban atas penderitaan saya. Kenapa saya belum menemukan cahaya petunjuk sedikit pun?”
Orang tua bijak itu melihat si pemuda datang kepadanya membawa sebuah buntelan besar. “Apa isi buntelanmu itu?”
Jawab si pemuda, “Isinya sangat penting bagi saya. Di dalamnya ada barang-barang yang mengingatkan saya pada setiap tangisan, ratapan, dan air mata saya. Benda-benda ini menjadi penyemangat saya dalam menempuh perjalanan berat mencari jawaban.”
Ibarat sebuah lilin, kegigihan “menyinari” diri untuk terus bertahan di tengah ancaman “kegelapan”. Jika terus dipelihara dan dimaksimalkan, banyak solusi akan bermunculan.
Dalam dunia olahraga, kita sering kali menyaksikan ketidakmungkinan yang menjadi kenyataan. Kita pun kerap dikejutkan dengan orang atau peristiwa yang berhasil mengubah kemustahilan jadi kenyataan. Dari turnamen bulutangkis, kita sering melihat seorang yang nyaris kalah, malah membalikkan keadaan dan berhasil menang. Di tenis, di ajang balapan, hingga berbagai arena olahraga lainnya. Inilah kompetisi di mana orang-orang yang pantang menyerah dan terus gigih berjuang, akan mendapatkan hasil yang gemilang.
Pada kondisi tersebut, yang dinamakan sebagai “titik darah penghabisan” benar-benar menjadi “nyata”. Kalau perlu, saat napas tinggal satu tarikan lagi, orang dengan kegigihan yang luar biasa bisa mengubah banyak hal. Mereka yang berjuang habis-habisan, akan mendapat hasil yang luar biasa gemilang.
Page 12 of 32