Badan Pusat Statistik (BPS) menegaskan bahwa industri pengolahan atau manufaktur dalam tren ekspansif. Hal ini terekam dari hasil survei BPS dan pertumbuhan positif dari sektor tersebut.

Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, aktivitas produksi tumbuh dengan baik, dimana industri pengolahan atau manufaktur bertumbuh 5,86% year on year (yoy) pada kuartal II-2025. Beberapa subsektor industri pengolahan seperti industri logam dasar tumbuh 14,91% yoy; industri daging dan olahan meningkat 7,94% yoy; dan industri kimia, farmasi, dan obat tradisional melesat 9,39%.

“Ini terkonfirmasi dari laporan emiten, produksinya sedang meningkat pesat,” ujar Winny dalam program BeritaSatu Spesial pada Senin (11/8/2025).

Di samping itu, pergeseran pola konsumsi masyarakat untuk berbelanja makanan dan minuman juga mendorong kinerja industi makan minum. Sektor ini tumbuh 6,15% yoy pada kuartal II-2025, sebagaimana ditangkap dalam Survei Industri Besar Sedang (IBS) dan Survei Industri Mikro dan Kecil (IMK) yang dilakukan BPS.

Dia menegaskan bahwa aktivitas industri manufaktur pun meningkat, seiring dengan aktivitas produksi industri manufaktur terutama di kawasan ekonomi khusus (KEK) dan kawasan industri (KI) yang didata secara langsung oleh BPS. Berdasarkan data BPS, Industri yang menggeliat antara lain industri yang berbasis hilirisasi seperti hilirisasi nikel dan bauksit, dengan volume ekspor aluminium yang tumbuh impresif sebesar 67,57%.

Salah satu indikator adanya penningkatan produksi dapat direkam dari konsumsi industri terhadap penggunaan listrik PLN. “Untuk mengonfirmasi apakah memang industri manufaktur itu memang meningkat atau tidak, kita kan perlu mengecek penggunaan listrik sektor industri. Terlihat bahwa penjualan listrik PLN ke segmen industri selama kuartal II-2025 itu tumbuh 8,55%,” jelas Winny.

Sejumlah data survei dan perkembangan BPS itu selaras dengan Prompt Manufacturing Index–Bank Indonesia (PMI-BI) dan Survei Kondisi Dunia Usaha (SKDU), aktivitas industri manufaktur pada kuartal II-2025 yang berada dalam zona ekspansif.

BPS menyebut PMI-BI dinilai lebih dapat menggambarkan kondisi manufaktur di Indonesia dibandingkan PMI S&P. Lantaran dari sisi cakupan, PMI BI memiliki keunggulan dengan melibatkan sampel yang lebih besar, yakni sekitar 600 perusahaan menengah dan besar di sektor manufaktur yang tersebar di 34 provinsi.

Dengan jangkauan yang lebih luas itu, PMI BI dinilai lebih mampu merepresentasikan kondisi industri manufaktur nasional secara menyeluruh dibandingkan PMI S&P Global yang melibatkan sekitar 400 perusahaan. Adapun PMI S&P Global menggambarkan kondisi manufaktur Indonesia tengah mengalami perlambatan sejak Maret.

Selain itu, kinerja kegiatan usaha juga tecermin dari peningkatan Saldo Bersih Tertimbang (SBT) kegiatan usaha sebesar 11,70%. Di sisi lain, kapasitas produksi juga mengalami peningkatan yang mengindikasikan bahwa industri bersiap untuk memenuhi permintaan yang lebih besar.

Sumber: https://investor.id