Alkisah, di sebuah desa kecil, hidup dua orang pemuda yang sama-sama ingin mengubah nasibnya. Suatu hari, mereka memutuskan pindah ke kota. Namun karena kurang keterampilan dan pendidikan, mereka kesulitan mencari pekerjaan.
Ketika hampir putus asa, kedua pemuda ini menemukan tumpukan kayu bekas yang dibuang begitu saja oleh penduduk setempat. Mendapati tumpukan kayu itu, mereka langsung mengolah kayu itu menjadi aneka macam barang—perkakas dapur, almari kecil, hiasan rumah, dan lain sebagainya. Sebab, memang itu satu-satunya keahlian yang mereka miliki. Lalu, mereka pun pergi ke pasar untuk menjual karya mereka.
Rupanya, banyak orang yang menyukai hasil karya mereka. Maka, hanya dalam waktu relatif singkat, dengan modal yang tak seberapa, mereka bisa mendapatkan hasil yang lumayan untuk menyambung hidup mereka.
Hari demi hari mereka lalui dengan cara yang sama. Hingga, suatu kali, salah satu dari mereka mengeluh bosan menjalani hidup yang begitu-begitu saja.
“Kapan kita bisa kaya? Ini terlalu lama dan melelahkan. Kalau aku lihat di pasar, jual buah sepertinya lebih menguntungkan. Tidak perlu kerja kasar seperti kita. Tinggal petik buah atau beli dari petani, dijual dengan harga lebih tinggi. Minggu depan, aku jual buah saja. Kalau kamu mau meneruskan pekerjaan ini, silakan saja.”
Maka, pemuda pertama berganti profesi menjadi pedagang buah. Sementara, pemuda kedua tetap menjalani profesi sebelumnya. Karena tidak lagi punya rekan kerja, ia bekerja lebih keras dan tekun agar hasil olahan kayu yang digarap tak berkurang jumlahnya.
Hari demi hari berlalu. Teman yang berjualan buah rupanya memang berhasil mendapatkan keuntungan yang lebih banyak. Sementara, si tukang kayu, meski mengalami peningkatan hasil penjualan, tapi labanya belum sebesar si teman penjual buah.
Bulan pun berlalu. Teman penjual buah ini rupanya tidak mudah puas. Ia melihat penjual kebutuhan pokok punya untung yang lebih besar. Maka, suatu kali, ia pun kembali berpindah profesi menjadi penjual barang-barang kebutuhan pokok. Sementara, temannya tetap setia pada profesinya.
Bulan pun berganti tahun. Pemuda kedua makin lama makin dikenal sebagai tukang kayu terbaik di kota tersebut. Dari hasil ketekunannya, ia bahkan sering mendapatkan pesanan berbahan kayu dari banyak saudagar kaya. Bukan hanya di kota itu, tapi juga kota-kota lainnya berkat keahlian dan relasi yang ia miliki.
Sementara temannya, setiap kali melihat peluang yang dirasa memberi lebih banyak keuntungan, selalu berganti usaha. Akibatnya suatu kali, di sebuah usaha yang dianggapnya memberi prospek keuntungan cukup besar, ia malah merugi. Akhirnya ia pun terpaksa memulai usaha dari bawah lagi.
Mendengar musibah yang menimpa kawan satu desanya, pekerja ia pun menawarinya untuk kembali bekerja sama. Sadar terlalu ingin cepat kaya, kawan itu menyanggupi. Akhirnya, mereka berdua pun berkumpul bersama lagi. Dengan kerja keras dan saling bahu-membahu, keduanya berhasil membesarkan usaha tersebut hingga ke berbagai pelosok negeri.
Dear Readers,
Dari kisah ilustrasi ini, kita melihat buah ketekunan dan fokus terhadap suatu usaha. Kita juga bisa memetik pelajaran, bahwa mengejar kekayaan dengan mencoba berbagai macam peluang memang tidak salah. Namun, sebagian orang justru “terjebak” pada upaya mengejar keuntungan sesaat sehingga melupakan kualitas hasil. Akibatnya, keuntungan yang seperti di depan mata, acap kali malah “menjebak” kita.
Peluang memang selalu ada. Tetapi, akan jauh lebih bijak jika kita bisa mengambil peluang sesuai dengan kapasitas dan kemampuan yang kita punya. Sehingga, kita bisa lebih fokus berkarya, bekerja dengan hati, berusaha dengan kesungguhan.
Mari, sadari potensi diri. Jangan tergoda pada keuntungan instan. Maksimalkan apa yang ada dalam diri dengan sepenuh hati, maka kita akan mampu meraih sukses sejati.
Salam sukses luar biasa!
Sumber: https://andriewongso.com