Saya tidak pernah bisa mengetik sepuluh jari. Satu-satunya kesempatan di mana saya belajar mengetik adalah saat duduk di kelas 3 SMU, di mana syarat kelulusan mutlak adalah mengantongi sedikitnya SATU dari dua ijazah ujian nasional: Akuntansi dan Mengetik.
Sebagai pembenci angka sejati, saya mengandalkan kelulusan pada ijazah mengetik, yang sialnya, sama sekali tidak saya kuasai. Alhasil, selama 3 jam setiap minggu, di ruangan sumpek di sudut gedung sekolah, saya berkutat dengan mesin tik butut yang huruf-hurufnya ditempeli stiker hitam, merelakan mata saya ditutup dengan kain buluk dan belajar menghafal letak huruf di bawah ancaman hukuman. Jangan tanya kenapa. Itulah metode mengajar guru saya yang terbukti efektif membuat kami lulus hanya dengan persiapan selama 6 bulan, walau tentu saja, sebagai efek sampingnya kami membenci beliau setengah mati. Setelah belajar mati-matian, saya lulus dengan nilai seadanya. Sangat tidak sebanding dengan jerih lelah selama 6 bulan, tapi itulah hasil yang didapat jika terbalik memasang kertas stensil pada ujian mengetik berstandar nasional.
Saya bertekad tidak akan menyia-nyiakan ‘ilmu’ yang didapat dengan susah payah itu. Saya selalu ingin menjadi penulis. Sejak belajar mengetik, saya menguasai satu-satunya mesin ketik di rumah dan saya bertekad akan mengoptimalkan kinerja mesin tua itu. Jadi, mulailah saya menulis. Tidak tanggung-tanggung. Saya mengetik cerpen sepanjang 9 halaman.
Pekerjaan itu memakan waktu semalaman. Hasilnya adalah berlembar-lembar kertas HVS yang penuh tipp-ex dan jari telunjuk yang pegal setengah mati. Tim penilai ujian nasional telah melakukan kesalahan besar dengan meluluskan saya. Berulang kali saya menjebloskan jari ke sela-sela tombol huruf dan membuat kesalahan konyol yang tidak bisa di-undo.
Dengan penuh percaya diri saya mengirim cerpen itu ke majalah; mahakarya pertama yang dibuat dengan mesin ketik usang. Saya sangat bangga. Optimis luar biasa. Redaksi majalah itu pasti terkesan.
Cerpen tersebut saya tulis lebih dari 5 tahun yang lalu. Sampai sekarang tidak ada kabar apapun dari majalah yang bersangkutan. Sejujurnya, saya bahkan ragu naskah itu DIBACA, karena penuh tipp-ex dan penampilannya sangat tidak meyakinkan.
Menjadi penulis adalah cita-cita terbesar saya. Melihat karya saya diterbitkan adalah mimpi yang selalu saya jaga baik-baik agar tidak layu. Sayangnya, berapa kali pun mencoba, saya tidak pernah melihat mimpi itu terwujud. Saya melihat mimpi berbunga di pekarangan rumah orang. Mimpi saya sendiri tetaplah berupa benih dalam pot yang tidak kunjung bertunas.
Bahkan setelah saya mengganti mesin ketik dengan seperangkat komputer, bunga yang saya lihat tetap tumbuh di pekarangan orang. Novel atas nama orang. Cerpen atas nama orang. Artikel atas nama orang. Mimpi saya tetaplah benih yang bersemayam jauh di dalam lapisan tanah kotor dan lembap.
Awal 2006, saya menemukan sebuah majalah yang langsung membuat liur saya bertetesan. Majalah itu adalah sebuah kompilasi cerpen yang terbit setiap bulan dengan mengusung penulis-penulis kawakan sebagai editor: Putu Wijaya, Seno Gumira, Jujur Prananto dan entah siapa lagi. Saya berdiri di depan rak Gramedia sambil memegangi majalah itu. Ketika saya membawanya ke kasir, semua kegagalan saya terlupakan. Saya tahu, nama saya akan tercatat dalam majalah tersebut.
Beberapa minggu setelahnya, saya pergi mengunjungi kawan di Jakarta Selatan. Ketika berhenti untuk membayar tol, pandangan saya singgah pada si penjaga loket; wanita berusia awal duapuluhan berambut sebahu yang wajahnya superkecut. Malamnya, saya duduk di depan komputer dan menulis cerita berjudul ‘Anugerah Terindah’ dengan tokoh utama gadis jutek penjaga loket. Saya mengirim cerpen itu ke redaksi majalah impian, dan memasrahkan diri pada hasilnya.
Que sera-sera. What will be, will be.
Tiga bulan kemudian, menjelang malam, sebuah e-mail mampir di inbox saya. Cerpen saya diterima! Malam itu menjadi malam yang ajaib dalam hidup saya.
Saya tersenyum-senyum di depan komputer warnet selama setengah jam penuh.
Saya membayar ongkos warnet sambil tersenyum lebar.
Saya berjalan ke tempat parkir dengan senyum superlebar.
Saya berhenti di tukang jagung bakar, untuk membelikan pesanan si Papah, masih dengan senyum lebar.
Saya menunggui jagung matang sambil cengar-cengir. Encik paruh baya penjual jagung tampak begitu cantik, dan pengipas arang berkaus kumal menjelma menjadi pangeran tampan.
Malam itu, saya mengalihkan pandangan dari pekarangan tetangga. Benih di pot saya mulai bertunas.
Beberapa minggu lalu, saya mampir ke toko buku dan iseng membeli novel kedua dari tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata: Sang Pemimpi. Karena sibuk, saya mengabaikan novel itu selama beberapa hari. Ketika akhirnya punya waktu luang, saya mulai membaca dan tidak bisa berhenti.
Ikal dan Arai, tokoh utama dalam kisah nyata ini, adalah sosok-sosok yang bukan hanya memahami makna ‘bermimpi’. Mereka bertahan demi mimpi. Mereka mengejar mimpi. Mereka hidup untuk mewujudkan mimpi.
Ikal dan Arai hanya 2 dari sekian banyak pemuda Melayu pedalaman yang terpaksa pasrah menerima kenyataan terlahir sebagai rakyat miskin di daerah terpencil yang penduduknya bahkan belum pernah melihat kuda. Dalam kondisi serba sulit, mereka tidak punya pilihan selain berjuang mempertahankan hidup sambil menggali keindahan sebuah mimpi. Menahan berat peti dan bau amis ikan sebagai konsekuensi dari pekerjaan kuli angkut pelabuhan sambil terus memeluk mimpi-mimpi.
Tekad untuk tidak mendahului nasib telah menghantar 2 pemuda yang hingga lulus SMA tidak pernah mengenal Kentucky Fried Chicken ini ke Sorbonne, Perancis, sebuah tempat yang bertahun-tahun silam digaungkan oleh seorang guru dan menjelma menjadi sebutir benih dalam hati mereka. Benih yang terus dipelihara dan dijaga dengan setia, tidak peduli semustahil apapun tampaknya, sesukar apapun kondisinya.
“Bermimpilah, sebab Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu.”
Itulah kalimat yang selalu mereka ucapkan. Kalimat yang kesaktiannya menyaingi daya magis ilmu madraguna, bukan karena jampi bertuah, melainkan karena kata-kata sederhana itu telah memberi kekuatan pada kaki-kaki mereka untuk terus berlari.
Saya menutup buku dengan perasaan campur aduk; antara terharu, senang dan geli.
Mereka benar.
Kekuatan yang sama telah membuat mimpi saya bertunas, walau saya tetap tidak bisa mengetik sepuluh jari.
Sumber: http://www.andriewongso.com