Andrias harefa

Bersediakah Anda mengerjakan apapun yang saat ini menjadi pekerjaan Anda, seandainya Anda tidak dibayar sepeser pun untuk itu? Bersediakah Anda menjual produk dan jasa yang sekarang Anda jual, seandainya Anda tidak mendapatkan gaji, insentif, atau komisi dari penjualan tersebut? Bersediakah Anda menjadi akuntan publik, seandainya Anda tidak mendapatkan imbalan uang sama sekali? Bersediakah Anda melakukan pekerjaan sebagai dokter, sekalipun tak ada yang mau membayar Anda untuk itu? Bersediakah Anda bekerja sebagai pengacara, kalau hal itu tidak memberikan manfaat finansial bagi Anda?

Bersediakah Anda bekerja sebagai insinyur sipil, arsitek, pembawa acara televisi, musisi, penyanyi, penari, penulis, ekonom, hakim, jaksa, polisi, tentara, anggota DPR, pejabat pemerintah, guru, pembicara, motivator, dan sebagainya, jika pekerjaan itu tidak mendatangkan uang buat Anda? Jika jawabannya adalah YA, maka Anda sedang dalam perjalanan menuju sukses.
Begitulah salah satu nasihat Oprah Winfrey, ratu talk-show dunia yang kesohor itu. “Jika Anda bersedia melakukan pekerjaan Anda yang sekarang tanpa menerima bayaran, Anda dalam perjalanan menuju sukses,” katanya. Sebab, jika Anda tidak digerakkan oleh motivasi uang, maka ada kekuatan lain yang lebih besar yang menggerakkan Anda. Kekuatan itu boleh disebut dengan nama apapun—inner power, the giant within, DNA sukses, hasrat inti, burning desire, the spirit of success, dsb—yang jelas kekuatan macam itulah yang menuntun orang meraih sukses.

Nasihat Oprah itu bisa juga dibaca demikian: “Jika Anda bersedia melakukan pekerjaan Anda yang sekarang semata-mata karena menerima bayaran, Anda dalam perjalanan menuju kegagalan.” Sebab jika Anda bekerja setiap harinya sekadar untuk mendapatkan gaji setiap bulannya, maka pekerjaan itu pastilah bukan pekerjaan yang menantang bagi jiwa Anda. Pekerjaan itu hanyalah sekadar nafkah yang tidak mendorong Anda untuk meraih sesuatu yang lebih besar dari sekadar materi. Pekerjaan itu tidak menggali bakat-bakat, kemampuan, hasrat dan pilihan-pilihan terbaik Anda. Pekerjaan semacam itu tidak perlu terkait dengan ketetapan hati (pikiran-perasaan-kemauan), sesuatu yang justru sangat penting untuk bisa membuat Anda sukses.

Sungguh menantang untuk mengetahui “apa yang bersedia kita lakukan, sekalipun hal itu tidak mendatangkan uang". Sebab sejak kecil kita diajar untuk mengejar nilai baik dalam tiap ulangan dan ujian di sekolah, tetapi kita tidak diberi contoh bagaimana belajar secara baik. Akibatnya, kita belajar untuk mendapatkan nilai dengan cara mencontek. Kita tidak diajar untuk bersedia memilih jujur, sekalipun mendapatkan nilai jelek di rapor sekolah. Akibatnya kita terbiasa menganggap kejujuran sebagai ketololan yang harus dihindari sebisanya. Dan karena biasa mencontek, maka kita tidak biasa mempertanyakan minat-bakat-ambisi-hasrat kita yang terdalam. Kita terbiasa untuk menjadi ikut-ikutan, menjadi manusia rata-rata, menjadi bagian dari gerombolan yang tak punya tujuan, tanpa identitas, tanpa rasa tanggung jawab. Kita telah dikelabui oleh cara berpikir “habis sekolah cari kerja yang menghasilkan banyak uang secepat-cepatnya, dengan cara apapun juga”.

Sungguh penting mengambil waktu memikirkan “apa yang bersedia saya lakukan, sekalipun hal itu tidak menghasilkan uang”. Rutinitas kerja mencari nafkah telah mengaburkan pandangan banyak orang mengenai apa yang sungguh-sungguh diinginkan jiwanya, atau apa yang sebenarnya merupakan tugas dan panggilan hidupnya. Rutinitas kerja telah menjadi belenggu baja yang memasung segala potensi, sehingga tak kunjung teraktualisasi. Rutinitas kerja telah membuat banyak orang lupa mengejar makna, mencari jawaban yang lebih baik mengenai apa sebabnya ia dilahirkan di bumi ini. Rutinitas kerja telah memasung kreativitas, menurunkan kecerdasan dari tahun ke tahun, sekadar untuk melakukan pekerjaan yang berulang-ulang, yang membuat otak berfungsi minimum, yang membuat hidup terasa membosankan. Rutinitas kerja telah membuat orang lupa bahwa kerja juga merupakan ibadah untuk mempersembahkan yang terbaik bagi Allah. Rutinitas kerja mengantar orang sampai pensiun. Lalu mati. Tanpa kontribusi. Tanpa makna.

Sungguh menarik untuk menemukan kembali, “apa yang bersedia saya lakukan, sekali pun hal itu tidak menghasilkan uang”. Sebab usaha untuk menjawabnya akan menuntun kita masuk ke dalam batin kita, melakukan ziarah spiritual, mengaktivasi kembali kompas jiwa yang lama tersandera. Jalannya pasti tak mudah dan tidak bisa instant. Berbagai kerak dan kotoran batin mesti dikeluarkan lebih dulu, sebelum mencapai kebeningan hati. Persis seperti penggali sumur yang berupaya menemukan air bersih. Ia harus mengebor tanah sampai kedalaman beberapa meter, lalu mengeluarkan air berlumpur secara terus menerus, dengan tekun, dengan ketetapan hati, dengan keyakinan bahwa kebeningan menanti di kedalaman. Setelah menggali sekian puluh meter, ia mungkin baru menemukan air berpasir putih, yang menjadi penanda bahwa sumber air yang jernih telah dekat. Seperti itulah pula pertanyaan reflektif “apa yang bersedia saya lakukan, sekalipun hal itu tidak menghasilkan uang” perlu diselenggarakan. Dilakukan secara secara terus menerus, dengan tekun, dengan ketetapan hati, dengan keyakinan bahwa kebeningan menanti di kedalaman.

Berani mencoba? Refleksi macam begini, memang, bukan untuk orang pengecut!

http://www.andriewongso.com