Ada sebuah kisah unik tentang segerombolan katak. Suatu kali, di kerajaan katak diadakan lomba menyeberangi sungai. Namun, hingga sore hari, tak ada satu pun kelompok katak yang berhasil menyeberangi sungai. Bahkan, rata-rata mereka sudah menyerah sebelum bertanding. Sebab, menurut cerita, di sungai itu dihuni oleh berbagai binatang buas yang setiap saat bisa memangsa katak.

Karena itu, ketika sore hari ada segerombolan katak yang berani melompati sungai itu, maka gemparlah seisi kerajaan katak. Anehnya, ketika akan diberi hadiah sebagai pemenang, mereka justru hendak pergi menjauh. Baru ketika diteriaki dari seberang sungai, mereka sejenak berhenti. Saat itu, mereka menolak diberi hadiah karena memang tak hendak mengikuti lomba.

Ternyata, mereka bahkan tak tahu-menahu bahwa sungai itu dihuni oleh berbagai binatang buas pemangsa katak. Mereka hanya berkata, bahwa mereka harus menyeberangi sungai, apa pun risikonya, karena mereka harus berpindah rumah akibat daerahnya sudah tak nyaman lagi ditinggali. Singkat cerita, sang katak hanya punya satu tujuan. Mencari rumah baru. Tak peduli risiko apa pun yang menghadang di jalan.

Netter yang Luar Biasa,

Kisah di atas memang hanya fiksi belaka. Tapi, itu adalah sebuah gambaran betapa tekad dan tujuan yang sangat kuat akan mengalahkan berbagai rintangan yang menghadang. Padahal, rintangan itu kadang justru diciptakan oleh ketakutan-ketakutan yang tercipta di pikiran saja. Seperti katak yang tak berani melompat.  Terbukti, tak ada satu pun katak yang mati saat melompati sungai tersebut.

Dalam bahasa Jawa, yang kerap digunakan dalam lingkungan tempat saya dibesarkan, tekad kuat dan tujuan pasti itu bisa dikatakan sebagai teteg, yang secara harfiah bisa diartikan tekad kuat atau kemantapan hati.

Hal ini sejalan dengan kisah yang pernah dialami oleh salah satu presiden Amerika Serikat, Abraham Lincoln. Tujuan hidupnya untuk berkontribusi pada negaranya mengalami halangan yang tiada tara. Bayangkan, pada tahun 1831 dia mengalami kebangkrutan dalam usahanya. Kemudian, tahun 1832 dia menderita kekalahan dalam pemilihan tingkat lokal yang diikutinya. Lantas, tahun 1833 dia kembali bangkrut. Tak berhenti di situ. Sang istri lantas meninggal dunia tahun 1835. Akibatnya, setelah didera berbagai masalah, tahun 1836 dia menderita tekanan mental yang sangat berat dan hampir saja masuk rumah sakit jiwa.

Namun, ia berhasil bangkit. Pada awalnya, Lincoln mencoba ikut sebuah kontes pidato di mana ia kalah. Tapi, beliau tak kenal menyerah. Maka, pada tahun 1840, ia mencoba terjun ikut pemilihan anggota senat Amerika Serikat (AS). Dalam pemilihan tersebut, ia gagal. Ia pun mencoba menjadi anggota Kongres AS pada tahun 1842. Namun, ia kembali gagal.  Beberapa tahun kemudian, ia kembali bertarung dan kembali gagal.

Tak patah arang, Lincoln kemudian mencoba lagi di jalur senat pada tahun 1855. Tetapi, lagi-lagi dia gagal terpilih. Setelah itu, tahun 1856, ia mencoba menjadi wakil presiden, dan nasib baik tetap tak berpihak padanya. Ia pun mencoba lagi menjadi anggota senat di tahun 1858 dan kembali gagal!

Bayangkan, berapa kali kegagalan telak sudah diterima Abraham Lincoln. Namun, tekadnya sudah mantap. Ia justru melangkah maju menjadi calon presiden AS. Dan ternyata, justru di tahun 1860, ia terpilih sebagai Presiden AS yang ke-16 dan bahkan menjadi salah presiden yang paling sukses dalam sejarah AS.

Kisah nyata dari Abraham Lincoln ini tercatat sebagai salah satu kisah paling dramatis yang pernah dialami oleh seorang politisi kelas dunia. Tapi, justru di sanalah, terdapat bukti nyata, bahwa kemantapan hati dan adanya tujuan yang menggairahkan untuk dicapai merupakan “bahan bakar” yang sangat ampuh untuk meraih impian.

Itulah sikap yang harusnya dimiliki oleh kita semua, sebagai manusia ciptaanNya. Contohlah para pendaki gunung yang ulung, di mana ada puncak yang menantang, justru di sanalah terletak “kenikmatan” untuk ditaklukkan. Mereka memiliki kesadaran  yang kuat akan target yang akan dicapai—mau bersusah payah, menghadapi jalan buntu, jalan penuh duri dan batuan, tanpa luntur semangatnya. Bahkan, cuaca yang kurang bagus, tidak akan menggoyahkan tekadnya. Meski kadang harus istirahat, berhenti, atau memutar haluan mencari jalan yang lain, pendaki gunung akan terus berusaha mencapai puncak.

Begitu juga dengan kita, seharusnya berusaha menjadi orang bermental kuat dalam proses menggapai semua impian. Dan, dengan sikap itulah, kita terus dan terus berjalan, berusaha, berupaya sekuat tenaga, mencapai apa yang dicari. Jika sudah mendapatkan “puncak”, jauhkan diri dari sikap sombong. Teruslah mencari berbagai tantangan lain, untuk mendapatkan kemenangan sejati.

Mari, mantapkan hati untuk meraih semua mimpi. Jauhkan diri dari sikap pesimis, malas, loyo, tidak semangat, tidak disiplin, dan berbagai kemiskinan mental lainnya. Jadikan diri sebagai climbers dengan kekayaan mental, maka kita akan jadi penikmat “puncak-puncak kehidupan” sejati…!

SUmber: http://www.andriewongso.com