Opini publik sering kali membuat kita mudah terpengaruh. Apa yang dikatakan oleh banyak orang, seolah itu yang akan jadi kenyataan. Karena itu, pengaruh lingkungan sangat bisa membentuk pribadi seseorang.
Namun, ada kalanya, seseorang sudah “terbentuk” dari sono-nya. Ada orang yang sangat kuat kepribadiannya, sehingga lingkungan seperti apa pun tak akan bisa menggoyahkan semangatnya. Sebaliknya, ada pula yang berada di lingkungan yang sangat mendukung, namun karena tidak percaya diri, melakukan apa pun jadi terasa susah. Karena itu, saya sering mengungkapkan, “1000 orang berkata tidak bisa, tidak berarti apa-apa. Tapi kalau kita yang mengatakan tidak bisa, itu baru bencana.”
Inilah pentingnya kita selalu menanamkan rasa percaya diri. Karena sejatinya, Sang Mahapencipta selalu “menitipkan” berbagai macam potensi dalam setiap insan. Namun, “titipan” itu hanya akan muncul—disadari atau tidak—hanya dengan perjuangan. Kadang, muncul ketika kita dilanda masa-masa penuh ujian, sering pula datang saat-saat penuh kesulitan datang. Bahkan, kadang muncul saat di mana kita sendiri merasa hal tersebut seolah tidak mungkin terjadi.
Orang-orang bijak berkata jika kita punya keyakinan sangat kuat, apa yang tidak mungkin pun bisa jadi menjadi nyata. Di sini, peran “apa yang kita yakini”, ditambah dengan “usaha yang ekstra keras”, dan “dukungan dari lingkungan”, akan jadi kombinasi kekuatan yang luar biasa untuk mengubah kehidupan.
Berikut adalah kisah yang bisa mencerminkan kondisi tersebut, untuk kita telaah maknanya.
Alkisah ada seorang anak sering merasa kurang beruntung karena terlahir tubuh pendek. Maka, saat sekolah, ketika pelajaran olahraga lari, ia merasa sudah kalah sebelum bertanding karena rata-rata temannya memang lebih tinggi. Gurunya cukup prihatin pada ketidakpercayaan diri si anak. Padahal, sang guru sering menanamkan kepercayaan, bahwa setiap orang pasti punya kelebihan masing-masing.
Suatu ketika, sang guru mendapat ide. Ia menantang si anak untuk beradu lari dengan murid yang bisa berlari paling cepat di sekolahnya. Sang guru mengatakan, bahwa ia bisa saja menang. Tapi, ia tidak percaya. Akhirnya, gurunya berjanji, kalau si murid kalah, ia tak akan ditantang berlari lagi dan nilainya tidak akan terpengaruh. Maka anak itu pun mau.
Di hari yang ditunggu, dua murid siap-siap beradu lari. Tapi, tanpa diketahui, baju si anak sudah dilumuri bau khusus. Maka, saat mulai berlari, dan si anak mulai ketinggalan, sang guru pun melepaskan anjing terlatihnya untuk mengejar si anak yang bajunya telah ditandai. Hasilnya, si anak ketakutan dan lari sekencang-kencangnya. Bahkan, ia bisa lari melewati juara lari. Saat itulah, sang guru menghentikan aksi anjing terlatihnya.
Sang guru pun menasihati muridnya, bahwa ia ternyata bisa lari lebih cepat melebihi apa yang diyakininya selama ini. Tidak pantas lagi ia minder dengan kondisi tubuhnya. Sebab, semua kerendahdirian itu hanya muncul jika ia sendiri yang menciptakannya. Mendengar itu, si bocah pun berterima kasih dan berjanji, akan mencoba mencari potensi yang dimiliki agar tak lagi rendah diri.
The Cup of Wisdom
Kisah tadi mengajarkan pada kita, bahwa memang kadang kita butuh “dipaksa” untuk mencapai kondisi yang tidak mungkin, agar jadi mungkin. Paksaan ini bisa kita munculkan dengan membiasakan diri mendobrak segala tantangan, bisa pula dengan bantuan lingkungan sekitar untuk memicu diri. Dan, biasanya, dari lingkungan inilah yang acapkali dirasa memberatkan, menyulitkan, bahkan membuat kita merasa nyaris tak sanggup lagi. Padahal, sejatinya, di sanalah, kita sedang dibentuk hingga kita akan bisa mengeluarkan potensi terbaik dalam diri.
Mari kita biasakan diri selalu terpacu untuk mengeluarkan segenap potensi diri. Jangan patah semangat dengan ujian dan cobaan yang mahaberat, sebab bisa jadi, ujian itulah yang akan membuat kita lebih tangguh, lebih kuat, dan lebih bertenaga, untuk menyongsong sukses yang kita damba. Saya pun meyakini, apa yang dirasa tidak mungkin, bisa jadi mungkin jika dilakukan dengan sepenuh hati.
Salam sukses, luar biasa!
Sumber: http://www.andriewongso.com