“Harimau mati meninggalkan belang. Gajah mati meninggalkan gading. Manusia mati meninggalkan nama”. Pepatah itu sangat kental dan kita ingat sebagai perwujudan bahwa setiap perbuatan di dunia, pasti akan dikenang. Baik atau buruk, sukses atau gagal, tergantung “nama” seperti apa yang ingin dikenang.
Jika hal positif yang selalu kita tanamkan, niscaya, siapa pun kita, kelak akan dikenang—minimal di lingkungan terdekat kita—sebagai insan yang memiliki nilai positif sepanjang hidup. Termasuk saat menghadapi kegagalan. Sebab, sejatinya, dengan hal-hal positif, kegagalan pasti akan berbuah kesuksesan. Tak ada sukses yang tak melewati kegagalan. Legenda Thomas Alva Edison dengan ribuan kali kegagalannya telah sering kita dengar. Atau, kisah Steve Jobs yang pernah dipecat dari perusahaan yang didirikannya sendiri, Apple dan kemudian mampu kembali untuk menyelamatkan Apple dari kebangkrutan.
Semua itu jika dilihat konteksnya, kita pasti paham, bahwa mereka itu memang orang-orang luar biasa yang dengan semangat bajanya, berhasil melewati berbagai tantangan dan ujian yang mahaberat. Semangat mereka menjadi teladan yang mampu akan terus melewati batas zaman dan menginspirasi siapa pun yang mengetahuinya.
Namun sebenarnya, bukan sekadar Thomas Alva Edison dan Steve Jobs ataupun tokoh dunia lain yang kita kenal yang mampu melakukan hal tersebut. Kita sebagai individu yang terlahir di dunia, juga memiliki mentalitas yang sama. Gagal dan sukses, jika dirunut ke belakang, pastilah pernah kita alami. Tak hanya sekali dua kali, mungkin juga ratusan bahkan ribuan kali. Mulai saat belajar berjalan. Tak ada satu pun bocah yang tak mengalami jatuh sebelum bisa berjalan. Juga ketika belajar naik sepeda. Agar bisa imbang, kita pun pasti pernah jatuh.
Begitulah, hidup memang berada dalam dua batasan yang tampaknya berlawanan itu. Seperti pepatah yang menjadi judul tulisan ini. Pepatah ini mengandung makna bahwa gagal bisa menjadi kekuatan untuk meraih kesuksesan. Namun, sukses yang berlebihan—yang memunculkan kesombongan dan keangkuhan—bisa juga menciptakan kegagalan. Karena itu, sukses dan gagal selalu berjalan beriringan secara alami dalam kehidupan setiap insan manusia.
Maka, jangan heran jika setiap saat, setiap waktu, akan muncul kisah-kisah menginspirasi di mana orang, baik sebagai pekerja, pengusaha, negarawan, politikus, olahragawan, mampu mencetak prestasi di bidangnya masing-masing. Namun, jangan heran pula, di tengah sinar terang sosok yang kita idolakan, tiba-tiba muncul berita miring yang langsung menghancurkan.
Itulah mengapa, ketika sukses sudah didapat, kejayaan telah diraih, kegemilangan telah terukir menghiasi nama kita, jangan lengah atau terjebak pada “godaan-godaan” yang menjerumuskan. Salah langkah, salah antisipasi, salah berucap atau bertindak, kegagalan, kejatuhan, atau kebangkrutan siap membuat siapa pun kembali terperosok ke dasar jurang. Begitu juga, saat kita sedang berada di bawah, tak perlu putus asa dan patah semangat. Sepanjang nyawa masih di kandung badan, jiwa dan pikiran mampu bekerja dengan optimal, selalu ada harapan.
Justru, saat kita sedang berada di bawah itu, sikap dan mentalitas kita sedang diuji dan dimatangkan untuk menjadi lebih baik. Sebab, gagal sejatinya terjadi karena setidaknya tiga hal.
Pertama, gagal terjadi karena memang waktunya belum tepat atau matang. Masih ingatkah Anda, beberapa waktu lalu, berbondong-bondong orang atau perusahaan mencoba peruntungan di bisnis dunia maya. Akibatnya, karena sekadar melihat “emas” di bisnis ini, tanpa melihat bagaimana menggali tambangnya, banyak bisnis yang bangkrut karena tak siap dengan infrastrukturnya. Namun, apa yang terjadi saat ini? Belajar dari kegagalan masa lalu, banyak perusahaan dunia maya kembali bermunculan, tetapi dengan konsep yang lebih baik dan dasar lebih kuat. Akan tetapi, siapa tahu, di balik kesuksesan yang dialami banyak perusahaan, kegagalan dan kejatuhan kembali menanti bila tak waspada.
Kedua, penyebab kegagalan biasanya adalah cara yang dilakukan cenderung salah. Sudah berusaha mati-matian, berjuang dengan sangat keras, namun hasil belum maksimal. Biasanya, jika gagal karena kesalahan sendiri—dengan evaluasi menyeluruh—akan bisa dilakukan koreksi. Hasilnya, jika benar diperbaiki, malah kegagalan yang terjadi akan jadi sumber inspirasi untuk meraih sukses sejati.
Ketiga, penyebab kegagalan yang paling sering dilakukan—disadari atau tidak—adalah karena kurang ulet. Banyak orang yang justru menyerah saat sukses sudah selangkah lagi. Padahal, hanya dengan menahan diri sekeras mungkin, dengan berjuang sekali lagi, di depan, sukses sudah menanti. Seperti yang diungkap oleh James J. Corbett, juara tinju kelas berat dunia, yang menyebut: “Orang yang bertarung satu ronde lagi, tidak pernah bisa dikalahkan!”
Bagi saya pribadi, kegagalan hanyalah proses menuju keberhasilan. Dengan berjuang lebih keras lagi, lebih gigih lagi, kita pasti menemukan cara untuk menggapai impian.
The Cup of Wisdom
Mari tetap belajar bersyukur saat gagal. Sebab, itu artinya, kita masih diberi kesempatan untuk memperbaiki diri. Bersyukur pula saat kita sukses dengan tidak terjerumus pada kesombongan. Caranya, dengan mengingat bahwa jalan kita masih panjang. Sehingga, apa pun hasil yang kita raih, akan membuat kita menjadi pemenang sejati kehidupan. Dan, kita pun akan meninggalkan “nama” harum untuk dikenang.
Salam sukses Luar Biasa!
SUmber: http://www.andriewongso.com