Pernah mengamati petugas valet parking di hotel-hotel atau pusat pertokoan? Mereka dengan keramahannya menjaga betul mobil kita. Apa pun jenis mobil yang kita kendarai, akan dijaga sesuai dengan standar dan prosedur yang telah menjadi tugas dan tanggung jawabnya. Begitu juga saat mereka mengambilkan kendaraan kita kembali. Senyum ramah mereka sunggingkan, sembari mengucapkan selamat jalan dan semoga selamat sampai tujuan.
Meski bukan mobil milik sendiri, mereka memperlakukan layaknya kendaraan sendiri. Begitu harus “melepas” kendaraan kembali ke pemiliknya, mereka pun tulus memberi ucapan selamat dan mendoakan agar sampai tujuan. Sepele sepertinya. Namun, dari peristiwa sederhana tersebut, bisa jadi pembelajaran bagi kita tentang ketulusan ketika memperoleh sesuatu. Ya, para petugas valet parking itu menerima titipan, menjaganya, dan kemudian mengembalikan tanpa harus “merasa kehilangan”.
Pada tulisan kali ini, saya ingin menggarisbawahi poin soal “merasa kehilangan”. Banyak dari kita yang sering menerima titipan—apalagi berwujud jabatan dalam bisnis dan usahanya—tapi kemudian melekat pada titipan tersebut. Akibatnya, saat harus melepas titipan, terasa berat. Padahal, sedari awal, sudah jelas ,semua ada masanya.
Melalui tulisan ini, saya ingin membuka cakrawala kesadaran, bahwa semua ada masa dan waktunya. Ada sebuah ungkapan bahasa Jawa yang perlu kita renungkan. Bandha titipan, nyawa gadhuhan, pangkat sampiran. Arti harfiahnya adalah harta hanyalah titipan, nyawa adalah gadaian, dan pangkat hanya digantungkan. Tak ada yang abadi yang menempel pada diri kita. Kecuali—bisa jadi—nama baik yang terus akan dikenang.
Ungkapan tersebut sangat dalam maknanya. Sebab, kita diajarkan “sadar kondisi”. Kita diajarkan untuk tidak membiarkan diri tenggelam dalam kemelekatan pada suatu hal yang kita agung-agungkan. Sebab, saat kita sudah terjebak dan lengket pada apa yang kita sebut sebagai jabatan atau kekuasaan,suatu saat pasti akan datang masa di mana kita tak bisa melawan kehendak Sang Maha Pencipta dan Kuasa.
Lalu, apakah kita tak berhak menikmati “titipan” itu? Sebenarnya sah saja. Bahkan, semua itu manusiawi. Bagaimana tidak? Sudah bekerja keras, sudah berjuang maksimal, sudah berusaha mati-matian, tentu “imbalan” yang kita dapat berhak kita nikmati. Dan, berhak pula kita pertahankan. Tapi, jangan sampai semua itu malah lantas membelenggu kita pada kemelekatan. Sebab, jika itu yang terjadi, mungkin kita malah akan terjebak jadi “diperbudak” oleh status kita sendiri. Akibatnya, bukan menikmati, bukannya bahagia, namun malah jadi sengsara, karena terbebani oleh status fana yang ingin kita jaga.
The Cup of Wisdom
Alangkah baiknya, saat titipan itu masih di tangan kita—apa pun bentuk dan namanya—kita berdayakan pada hal-hal yang membuat manfaatnya bisa dirasakan kepada lebih banyak orang. Jabatan, misalnya. Gunakan untuk membuat berbagai kebijakan yang membawa keberkahan bagi orang banyak. Kekayaan, apalagi. Akan jauh bermakna saat dimaksimalkan untuk membawa kebaikan bagi sekitarnya. Atau, saat nama baik kita sandang. Alangkah indahnya dengan pengaruh yang kita miliki bisa menggerakkan lebih banyak insan untuk membawa berbagai perubahan untuk membangun sekelilingnya.
Intinya, melalui cara-cara yang lebih positif, rasa kepemilikan terhadap titipan yang diberikan akan menjelma jadi “kepemilikan” bersama. Sehingga, saat titipan itu sudah tak lagi melekat pada kita, manfaatnya masih bisa kita rasakan bersama-sama pula.
Mari, sadari semua hal akan berlalu seiring dengan waktu. Tugas kita, sebisa mungkin, memaksimalkan waktu tersebut untuk menjadi manfaat yang berlipat. Bukan hanya untuk diri sendiri, tapi bagi orang lain, sebanyak-banyaknya. Jika itu mampu kita lakukan, semoga kebahagiaan yang akan melekat pada kita.
Salam sukses luar biasa!
Sumber: http://www.andriewongso.com